Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Mafia Pendidikan?

Labels:
Senin, 15 Juni 2009 | 8:44 WIB

Di manakah kejujuran diajarkan? Di sekolah, atau di rumah atau malah terlupakan sama sekali? Kalau benar terlupakan, maka bisa dimaklumi Unas selalu kisruh. Ia dibelit oleh berbagai ketidakjujuran. Inilah proses pembusukan karakter yang sistimatik dan masif.

TUJUAN Unas sebenarnya bagus. Tanpa Unas sulit diketahui tercapainya standarisasi pendidikan secara nasional. Ini merupakan target capaian Pemerintah. Di lapangan terjadilah distorsi. Pendataan untuk menentukan standar nasional tersebut diterjemahkan sebagai target tiap sekolah. Para pemangku kepentingan pun ikut-ikutan menekan, berlindung pada Undang-undang Sikdiknas.

Akhirnya, tujuan menghalalkan cara. Generasi penerus bangsa diajari untuk berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan ketidakjujuran. Poin yang tertancap abadi di benak mereka antara lain adalah bahwa ketidakjujuran yang dilegalkan bukanlah perbuatan melanggar norma hukum.

Legalitas terhadap ketidakjujuran itu lambat laun menjadi etos kerja, yang tercermin lewat komitmen pribadi. Mereka mendefinisikan pengertian profesional sebagai usaha untuk hidup layak dengan berbagai cara yang dilegalkan. Semakin permisif sikap suatu bangsa terhadap hal tersebut, maka seolah-olah karakter itulah yang dianggap paling benar. Kaum terdidik hanya memerlukan keahlian atau keterampilan saja. Komitmen moral boleh dinomor duakan.

Padahal apa pun profesinya diperlukan komitmen moral yang tinggi. Tanpa landasan itu, keahlian atau jabatan seseorang mudah disalahgunakan. Mereka masuk ke dalam ranah penuh dengan perilaku mafia. Mafia pendidikan, mafia pengadilan, mafia pertanahan, mafia perizinan, mafia pelayanan, dan sebagainya. Kalau terjadi, seahli-ahlinya mafia, tidak dapat dianggap profesional dalam pengertian sebenarnya.
Apa untungnya jika pendidikan di proses ala mafia? Yang pasti, usaha untuk melakukan pemetaan kwalitas menjadi lebih bersifat semu. Gambar bagus tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Lembah digambar gunung. Comberan dikatakan danau jernih. Semak belukar dianggap sawah siap panen.

Begitulah kira-kira hasil kinerja para mafia yang ahli membuat wajah berseri-seri, untuk menutupi realita yang selalu jujur. Kalau masih mungkin berharap, dunia pendidikan seyogianya jangan disusupi oleh mentalitas mafia. Dalam jangka panjang jelas akan menghancurkan.

Ki Kemaki bilang, ulah mafia pendidikan itu persis “wong pinter sing keblinger”. Mereka seperti orang terdidik yang tersesat oleh kepintarannya sendiri. Jumlah yang keblinger sebenarnya lebih sedikit daripada yang klenger. Namun secara besar-besaran para korban pingsan itu berjatuhan terbius oleh aroma memabukkan. “Akèh wong pinter sing keblinger. Korbané muter-muter nganti klenger”, kata sahabat saya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa orang pintar yang melakukan tindakan ala mafia lebih pas disebut julig atau licik.

***
Ketidakjujuran yang memenuhi azas legalitas pada hakikatnya tetap sebagai ketidakjujuran. Manakala nilai itu dijadikan komitmen moralitas, maka akan semakin merebak operasi ala mafia yang pragmatik. Kita berharap hal itu tidak terjadi, khususnya di dunia pendidikan. Kokoh atau robohnya suatu bangsa dimulai dari sini. Mangga, silakan berbeda pendapat.

http://www.surya.co.id/2009/06/15/mafia-pendidikan.html
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts