Kamis, 30/07/2009 15:33 WIB
Jakarta, Upaya pemerintah untuk mengawasi peredaran formalin dan boraks dinilai tidak maksimal karena masih banyak ditemukan makanan berbahaya yang mengandung bahan kimia tersebut.
Forum Peduli Kesehatan Masyarakat (FPKM) mendesak pemerintah untuk menertibkan penggunaan formalin dan borax di kalangan produsen makanan di wilayah Jabodetabek. Langkah tegas pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah penggunaan bahan pengawet dan munculnya berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh bahan berbahaya itu.
"Perlu dilakukan penertiban. Tindakan tegas aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk mengubah perilaku produsen produk pangan dan pedagang ke arah yang benar. Pemerintah juga harus memberlakukan sanksi tegas terhadap produsen yang nakal, bila perlu seret pelakunya ke meja hijau," kata Ketua Umum FPKM Basuni Suryanata Negara saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (30/7/2009).
Basuni mengatakan, pemerintah harus menutup kran impor formalin agar para pelaku usaha pangan yang biasa menggunakan formalin sulit memperoleh bahan pengawet berbahaya itu. Penutupan kran impor, lanjutnya, untuk menciptakan iklim perdagangan yang sehat di pasaran serta menghidupkan persaingan yang berimbang di kalangan produsen bahan pangan.
"Pemerintah harus tutup kran impor, baru kemudian mengevaluasi penggunaan formalin. Jangan melakukan tindakan yang sebaliknya," ujar dia.
Basuni mengungkapkan, FPKM telah mengantungi sejumlah bukti mengenai tingginya penggunaan formalin di kalangan produsen tahu, mie, kwetiau, ayam potong, saos cabai, kecap, ikan basah, dan ikan asin.
Sementara itu, penggunaan boraks sebagai pengawet dan pengenyal makanan banyak ditemukan pada produk pangan seperti bakso, otak-otak ikan, nugget ayam, lontong, dan lain sebagainya.
"Seharusnya pemerintah memberantas industri makanan yang menggunakan formalin dan borax sebagai pengawet. Bila perlu, pedagang yang terbukti menjual makanan mengandung formalin dan borax, serta penyalur ditangkap," kata dia.
Menurut Basuni, berdasarkan hasil analisa FPKM, saat ini terjadi penurunan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia hingga 15%, yang disebabkan oleh adanya kontaminasi� bahan kimia berbahaya pada produk makanan.
Data FPKM menyebutkan, 97% dari keseluruhan 455 unit produsen tahu di wilayah Jabodetabek masih menggunakan formalin sebagai pengawet.
Menurut dia, setiap kilogram tahu mengandung kadar racun formalhedid antara 0,5-2 gram. Sedangkan, air yang digunakan untuk merendam tahu, kadar racun formalinnya mencapai 2,5-5 gram per liter.
Ia mengungkapkan, ketidaktegasan pemerintah telah dimanfaatkan kalangan produsen tahu untuk terus memproduksi produk makanan mengandung bahan berbahaya. "Ketidaktegasan ini membuat produsen tahu tidak ada efek jera. Tidak pernah ada inspeksi mendadak. Bahkan, ada oknum aparat yang berkolusi dan secara terang-terangan melindungi produsen tahu agar bebas menggunakan formalin," jelas Basuni.
Lebih lanjut dikatakan, saat ini terdapat sejumlah peraturan yang secara eksplisit menjelaskan tentang penggunaan bahan tambahan untuk produk makanan. Peraturan dimaksud adalah UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Produk Pangan, UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan dan Bahan Tambahan Kimia (BTK) yang dilarang digunakan pada makanan. Selain itu, Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 04/M-DAG/Per/2/2006 dan Nomor 08/M-DAG/PER/3/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, termasukFormalin dan Borax.
http://health.detik.com/read/2009/07/30/153354/1174495/763/penertiban-formalin-dan-boraks-pada-makanan-tidak-maksimal
Post a Comment