Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Tentang Tanah, Pangan dan Kemiskinan *)

Tanah, barang yang setiap hari bahkan setiap detik kita pijak. Sama dekatnya kita dengan air yang setiap saat dibutuhkan tubuh kita; udara yang setiap waktu kita hirup, dan; cahaya yang setia menemani kehidupan umat manusia. Apabila satu di antara empat unsur pokok alam itu tidak berfungsi menurut hukumnya, bisa dipastikan akan terjadi bala.

Ungkapan lama dan semakin nyata kebenarannya hingga kini yang menyatakan bahwa tanah di muka bumi ini lebih dari cukup apabila dibagi kepada setiap orang, tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Ungkapan yang kedengaran biasa saja, sehingga mudah menemukan faktanya.

Dalam riwayat penguasaan tanah di Indonesia dikemukakan bahwa terjadi perubahan secara brutal dari kepenguasaan tanah komunal menjadi individual; dari fungsi tanah sebagai basis pangan menjadi komoditi yang diperdagangkan dan kemudian menjadi sumber perang dan kemiskinan. Pada tahun 1965, kepemilikan tanah di Sulawesi dan Tenggara adalah 705.961 rumah tangga. Dari populasi itu, mereka yang memiliki tanah seluas antara 0 – 0,5 hektar adalah 411.127 rumah tangga. Sedangkan mereka yang memiliki tanah seluas antara 10 – 20 hektar atau lebih hanya 11.145 rumah tangga.

Data BPS tahun 1987 yang dikutip KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2000) menyebutkan jumlah petani yang memiliki lahan kurang dari 1 ha sebanyak 15.25 juta rumah tangga petani. Sebanyak 1,24 juta di antaranya petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,09 hektar. Lebih jauh diidentifikasi struktur penguasaan tanah berdasarkan ketimpangan kelas sosial petani sebagai berikut:

 Pertama, Tuan Tanah. Mereka yang menguasai tanah lebih dari 10 ha (11,9 ha = 232.700 rumah tangga)
 Kedua, Petani Menengah. Mereka ini menguasai tanah antara 1 – 5 ha (3,23 ha = 10,6% = 1.897.400)
 Ketiga, Petani Miskin atau Petani Gurem. Mereka ini adalah petani yang menguasai tanah kurang dari 1 hektar dan petani yang menguasai tanah rata-rata 0,10 ha. Jumlah mereka sekitar 48,5% (rata-rata 0,17 ha) dan 39,6% (rata-rata 0,9 ha) yang tersebar di berbagai daerah.
 Keempat, Petani Tuna Kisma. Mereka ini petani yang benar-benar tidak memiliki tanah dan tidak mempunyai garapan. Jumlah mereka sekitar 9,1 juta. Jika petani tuna kisma ditambah dengan petani yang menguasai tanah kurang dari 0,10 ha, maka jumlahnya 11.084.605 petani.

Yang ingin ditegaskan dalam paper ini berdasarkan referensi tersebut bahwa urbanisasi menjadi pilihan yang paling rasional bagi petani tanpa tanah itu sebagai strategi mengatasi kemiskinannya. Di Sulsel, masa migrasi besar-besaran terjadi antara tahun 1970-an dan 1980-an. Selain factor politik, kondisi ekonomi juga mendorong terjadinya urbanisasi. Faktor ekonomi di antaranya adalah ketimpangan struktur kepemilikan tanah dan krisis pangan.

Tanah dan Pangan

Tentang rusaknya relasi di antara tanah dan pangan dapat dipelajari dari riwayat Revolusi Hijau di Indonesia.

Pada mulanya adalah kelangkaan pangan beras, terutama pada orde lama Soekarno. Untuk mengatasinya, salah satu cara adalah dengan mengimport beras dari 0,3 juta ton menjadi 1 juta ton pada awal tahun 1960-an. Di masa akhir pemerintahan Soekarno, impor beras ini menurun drastis menjadi 0,2 juta ton.

Revolusi Hijau yang diprakarsai saintis Yayasan Rockfeller di AS, Norman E. Bourlaug menawarkan teknologi baru pertanian dan menjanjikan strategi jitu mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Di Indonesia, produk teknologi revolusi hijau ini dapat dikenali pada benih hibrida, bahan kimia pupuk dan pestisida/ herbisida, serta peralatan produksi seperti traktor, alat semprot, dll. Pengembangan lebih jauh dari konsep revolusi hijau adalah pembangunan pengairan sawah dan bendungan.

Pada orde baru Soeharto, proyek revolusi hijau dikemas menjadi program intensifikasi pertanian dan pangan, khususnya beras. Program itu dikenal dengan Inmas dan Binmas.

Tahun 1972-1973 terjadi suatu krisis pengadaan beras, akibat kegagalan panen, bersamaan dengan melonjaknya harga beras di pasar dunia. Pemerintah Orba mengoimport beras dari 0,74 juta ton menjadi 1,66 juta ton pada tahun 1973. Selanjutnya pemerintah Orba menerapkan kebijakan yang berintikan subsidi sebagai berikut (Fauzi, Petani dan Penguasa, 1999):

 Subsidi harga pupuk. Perbandingan harga pupuk urea adalah 1:0,6. Setelah disubsidi (1982) menjadi 1:1,9. Subsidi sekitar US $ 500 juta setahun.
 Kredit pertanian berbunga rendah melalui proyek Binmas dan Inmas.
 Pembelian padi oleh pemerintah melalui penetapan harga dasar gabah, dimaksudkan untuk membangun stok cadangan gabah nasional
 Pengadaan dan perbaikan sarana irigasi yang dibiayai melalui dana-dana pinjaman luar negeri.

Di balik keberhasilan “revolusi hijau” untuk swasembada beras, hanya 20 – 30 % rumah tangga pedesaan yang diuntungkan. Mereka menjadi petani kaya, tetapi tidak independen, bergantung subsidi Negara, serta teknologi baru. Dan, anehnya, dari tahun ke tahun laju urbanisasi dan migrasi terus meningkat. Kota-kota besar di Indonesia bagaikan diserbu oleh para mantan petani yang terjerat utang dan kemiskinan. Kebanyakan mereka bekerja di sector informal dan bermukim di atas tanah-tanah rawan sengketa. Sebagian lagi di antara mereka menjadi gelendangan kota.

Pangan dan Kemiskinan

Kaum miskin di kota-kota besar adalah konsumen akhir dari komoditi pertanian pangan, khususnya sembilan kebutuhan pokok. Itulah sebabnya, pemerintah menjadikan determinan standar kalori makanan untuk menentukan garis kemiskinan. Berikut ini adalah perhitungannya:

Pertama, Sangat Miskin, apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu hanya mampu memenuhi konsumsi makanan 1.900 kalori per orang per hari, plus kebutuhan dasar nonmakanan atau setara Rp 480 ribu per RT per bulan.

Kedua, Miskin, apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu hanya mampu memenuhi konsumsi makanan antara 1.900- 2.100 kalori per orang per hari, plus kebutuhan dasar nonmakanan atau setara Rp600 ribu per RT per bulan, di atas Rp 480 ribu.

Ketiga, Mendekati/hampir Miskin, apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu hanya mampu memenuhi konsumsi makanan antara 2.100 - 2.300 kalori per orang per hari, plus kebutuhan dasar non makanan atau setara Rp 700 ribu per RT per bulan, di atas Rp 600 ribu.

Jika ditelusuri riwayat kemiskinannya, kaum miskin di kota maupun di pedesaan sama-sama menghadapi persoalan yang sama, yakni ketiadaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya tanah dan pangan. Tanah tempat tinggal kaum miskin kota umumnya tanah yang rawan sengketa. Sementara kebutuhan pokoknya sangat bergantung pada subsidi pemerintah.

Kenaikan harga BBM menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan rakyat miskin kota pada pangan yang disubsidi pemerintah. Operasi pasar murah, raskin adalah bentuk intervensi pemerintah untuk kaum miskin kota. Tahun 2007, subsidi beras untuk rakyat miskin dengan harga tebus Rp 1000 sebanyak Rp 1,896 juta ton, yang dianggarkan dalam APBN 2007 Rp 6,4 trilyun untuk menjangkau 15,8 juta rakyat miskin. Tahun 2008 ini, pemerintah SBY-Kalla akan mengalokasikan dana sekitar Rp 54 trilyun untuk proyek-proyek pengentasan kemiskinan (Awaly dan Tim UPC, 2007). Namun, sebagian besar dananya dipinjam dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia.

Pemerintah SBY-Kalla menargetkan penurunan angka kemiskinan menjadi 8,2 % pada tahun 2009 dari level 16,6 %. Kenyataannya, tahun ini saja angka ini masih berkisar 15-16%. Terbukti strategi yang dipakai pemerintah tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebaliknya hanya menguntungkan kelompok kecil yang hampir miskin dan bukan orang miskin. ***** Awi/22/01/08

*pengantar diskusi tentang Pangan di forum WALHI Sulsel, 22 Januari 2008 di Baruga Benteng Somba Opu
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts