Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Kasus Prita, Kuasa Modal dan Konsumen Kesehatan

Selasa, 9 Juni 2009 | 20:15 WITA

Oleh : Fatmah Afrianty Gobel

Kasus pemenjaraan selama tiga minggu yang dialami Prita Mulyasari karena keluhan pelayanan rumah sakit yang disebarkan melalui surat elektronik (e-mail) membuat banyak kalangan prihatin.

Setelah mendapat tekanan publik termasuk dari para capres, utamanya langkah taktis dari Jusuf Kalla yang langsung menghubungi Kapolri dan Jaksa Agung setelah diberitahukan kasusnya oleh Iwan Piliang (seorang blogger dan citizen reporter), pihak kejaksaan setempat kemudian mengubah status Prita menjadi tahanan kota dan bisa berkumpul kembali bersama keluarganya. Meski telah keluar dari rumah tahanan (rutan), kasusnya tidak otomatis berhenti. Pihak pengadilan masih meneruskan sidang atas kasus yang sangat janggal tersebut.
Kejanggalan kasus Prita karena keluhan seorang pelanggan rumah sakit yang dikriminalisasi dan dianggap mencemarkan nama baik. Kejanggalan lainnya adalah kasus ini berpotensi membatasi kebebasan berpendapat di alam demokrasi dan memiliki konsekuensi luas atas kebebasan menyampaikan keluhan atas suatu layanan publik. Apalagi layanan publik bidang kesehatan adalah layanan publik primer yang dibutuhkan setiap orang karena tak satupun orang di dunia ini yang bebas dari penyakit.
Pokok Masalah
Pada tanggal 7 Agustus 2008, Prita mengalami keluhan pada tubuhnya yakni kondisi panas tinggi dan kepala pusing. Dengan alasan ingin mendapatkan layanan medis yang bagus, maka Prita memilih RS OMNI Internasional yang berlabel internasional. Layanan pertama yang diterimanya adalah pemeriksaan suhu badan di dalam kamar UGD dengan hasil 39 derajat.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya trombosit Prita disebutkan oleh pihak RS 27.000, sementara normalnya adalah 200.000 sehingga Prita dinyatakan wajib rawat inap karena dinyatakan positif demam berdarah.
Ketika menjalani rawat inap, kembali dilakukan pemeriksaan ulang di laboratorium RS dengan sampel darah yang sama dan hasilnya kembali dinyatakan sama yakni trombosit 27.000.
Dari sinilah awal mula ketidakpuasan Prita karena dirinya mendapatkan perlakuan yang tidak disangkanya yakni dirinya diinfus dan diberi berbagai suntikan terus menerus oleh perawat tanpa pernah mendapatkan penjelasan.
Prita menyaksikan satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Apalagi dirinya mendapatkan informasi resmi pada hari kedua rawat inap dari pihak RS tentang revisi hasil pemeriksaan darah dari lab yang tadinya 27.000 menjadi 181.000. Prita merasakan kejanggalan atas informasi "revisi hasil lab" dan menganggap pihak RS memiliki maksud tertentu atas hasil pemeriksaan lab.
Karena terus menerus disuntik dan diinfus, tangan kiri Prita mulai membengkak. Lama kelamaan suhu badan Prita kembali naik seperti semula 30 derajat.
Pada malam berikutnya, Prita kembali mendapat suntikan dua ampul sekaligus sehingga Prita terserang sesak napas selama 15 menit padahal tidak memiliki riwayat medis sesak napas.
Meminta Penjelasan
Tangan kanan Prita pun mendapat giliran diinfus sehingga kembali mengalami pembengkakan seperti tangan kirinya. Pada hari berikutnya, bukannya bertambah baik malah semakin parah karena leher kiri dan mata kiri ikut membengkak.
Akhirnya Prita meminta infus dihentikan dan menolak mendapatkan suntikan maupun obat-obatan serta meminta dokter penanggungjawab untuk memberi penjelasan sebenarnya atas penyakit yang dideritanya. Prita juga meminta penjelasan atas "revisi hasil lab" yang mengharuskan rawat inap, padahal sebenarnya bisa rawat jalan bila data hasil revisi lab yang 181.000.
Tidak puas dengan pelayanan RS OMNI, Prita meminta pindah ke rumah sakit lain sambil mengupayakan mendapatkan data-data medis yang lengkap, utamanya data hasil lab 27.000.
Segala upaya dilakukan Prita untuk mendapatkan data medis awal yang menunjukkan trombosit 27.000 kepada kepala lab dan pihak manajemen RS OMNI tidak berhasil. Prita sudah mengajukan komplain secara tertulis kepada pihak manajemen RS OMNI yang diterima Customer Service coordinator dan meminta data bukti atas komplain tertulis tersebut.
Karena upaya mendapatkan data tersebut tidak terpenuhi sehingga Prita menganggap data medis yang menunjukkan hasil lab 27.000 adalah fiktif dan hanya akal-akalan pihak RS OMNI agar Prita bisa "dipaksa" rawat inap. Prita menganggap RS OMNI hanya ingin mengambil limit asuransinya semaksimal mungkin karena biaya Prita menggunakan jasa asuransi, dan tidak mempedulikan efeknya pada pasien.
Setelah mendapatkan perawatan pada RS lain, Prita baru mendapatkan penjelasan yang memuaskan dirinya kalau penyakit yang dideritanya adalah virus menular yang dapat menyebabkan seorang perempuan menderita sakit kista, dan bila kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten.
Namun penyakit tersebut sudah membengkak pada tubuhnya sehingga Prita merasa dibohongi oleh pihak RS OMNI yang menyatakan sakit demam berdarah dan memberinya macam-macam suntikan dosis tinggi sehingga sesak napas.
Atas perlakuan RS Omni tersebut, Prita membuat surat elektronik pada 15 Agustus 2008 dengan subyek "Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang" dan dikirimkan kepada beberapa rekannya. Namun bagi pihak RS OMNI, tindakan Prita tersebut dinilai mencemarkan nama baik dokter (dr Hengky) dan RS OMNI dan memilih melaporkan Prita kepada pihak berwenang.
Kuasa Modal
Merasa dipojokkan oleh cara Prita menyebarkan keluhan melalui dunia maya yang dapat dibaca ribuan orang, maka pihak RS OMNI "bekerjasama" dengan pihak kejaksaan melakukan tindakan pemanggilan kepada Prita.
Prita kemudian memenuhi pemanggilan pihak jaksa dan langsung dijebloskan ke rutan per 13 Mei 2009 tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada pihak keluarganya. Tampaknya logika kekuasaan modal berlaku disini karena tanpa penjelasan, pihak kejaksaan langsung memasukkan Prita sebagai konsumen kesehatan ke rutan atas "perintah" pihak manajemen RS OMNI International.
Prita Mulyasari didakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) junto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU tersebut menyatakan "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Prita juga dikenakan Pasal 310, 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1 tahun 6 bulan.
Keberpihakan kejaksaan setempat pada kekuatan modal sangat terasa karena hanya memberlakukan satu peraturan perundang-undangan yang menguntungkannya untuk bertindak represif.
Sementara pada pihak Prita sebagai konsumen kesehatan yang berhak menerima laporan kesehatan dapat diberlakukan Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, sedang sebagai warga negara dijamin hak-haknya oleh Undang-Undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang memungkinkan publik punya hak untuk tahu pada sebuah badan layanan publik, termasuk rumah sakit yang melayani kesehatan publik.
Ideologi Neoliberalisme
Bahkan UU No 23/1992 tentang Kesehatan dapat juga digunakan untuk membantu Prita lepas dari jeratan hukum. Apalagi konstitusi tertinggi dalam UUD 1945 Pasal 28 menjamin kebebasan berpendapat secara lisan dan tulisan.
Berdirinya banyak rumah sakit yang dikelola swasta menunjukkan ideologi kapitalisme dan neoliberalisme dalam bidang kesehatan sedang berlangsung massif. Apalagi pemerintah Indonesia sejak masa Soeharto telah menandatangani perjanjian WTO sebagai penganjur pasar bebas sehingga memungkinkan banyak pemodal asing atau pemodal domestik mendirikan rumah sakit seperti halnya mengelola perhotelan dengan tujuan utamanya mencari keuntungan dari jasa yang diberikan.
Dalam logika kapitalisme dan neoliberalisme, eksistensi rumah sakit diukur berdasarkan profit, sedang keluhan pelanggan yang dapat berpotensi mendatangkan kerugian karena pemberitaan negatif akan ditindas menggunakan tangan-tangan yang tak tampak (invisible hand) namun terasakan keberadaannya.
Pertumbuhan banyak rumah sakit swasta maupun privatisasi rumah sakit pemerintah didasari oleh paradigma New Public Management (NPM) sebagai paradigma baru dalam pengelolaan layanan publik. Dampak gerakan NPM dalam bidang kesehatan di mulai di Inggeris ketika pemerintah negara tersebut mengubah RS pemerintah menjadi badan hukum korporasi. Selama dua puluh tahun terakhir menjalar hingga ke Asia Tenggara. Di Indonesia mulai terasa dari gerakan NPM ketika perubahan RS pemerintah menjadi unit swadana berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 38/1991.
Keberadaan RS OMNI International tak lepas dari konteks idiologi kapitalisme dan neoliberalisme dalam bidang kesehatan yang merambah Indonesia. Sedang kasus Prita adalah efek dari dominasi kekuasaan dan kekuatan modal swasta dalam mempengaruhi tangan-tangan penguasa dan mengabaikan hak-hak kesehatan warga negara yang semestinya dijamin oleh negara.

Penulis, Ketua Program Studi Kesmas FKM UMI Makassar

http://www.tribun-timur.com/read/artikel/32369
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts