Jumat, 7 Agustus 2009 | 10:14 WIB
Peristiwa ini terjadi 10 tahun lalu di suatu desa. Seorang anak berusia 14 tahun meninggal ketika melahirkan anak pertamanya. Pada saat kritis, ayahnya menolak membawa anaknya ke puskesmas karena jauh dan kondisi jalan buruk. Menurut sang ayah, kematian adalah takdir, dan mati karena melahirkan adalah mati syahid.
Kisah yang diunduh dari situs Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan, itu memberikan gambaran tentang banyak hal. Mulai dari status anak perempuan, perkawinan dan kehamilan pada usia muda, ketiadaan akses pada pelayanan kesehatan reproduksi, kurangnya pendidikan, dominasi peran orangtua, suburnya mitos yang mengatasnamakan agama, sampai infrastruktur yang buruk.
Beragam kisah yang berujung pada kematian ibu melahirkan terus terjadi, dipicu oleh kemiskinan dalam arti luas. Tidak hanya mencakup kemiskinan pendapatan, juga pengabaian (ig- norance), termasuk oleh negara.
Tahun 2009, yang menandai peringatan 15 tahun Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo, Mesir, tahun 1994, dunia masih diwarnai situasi seperti itu. Padahal, ICPD menghasilkan Konsensus Kairo, yang mengintegrasikan isu-isu kependudukan, pembangunan, dan hak asasi manusia ke dalam cetak biru Rencana Aksi 20 Tahun. Meskipun diwarnai perdebatan seru dalam perundingan 10 hari, Konsensus Kairo akhirnya disepakati oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa, dengan reservasi di sana- sini.
Pada 17 Juni 2009, dalam sesi reguler ke-12, the Human Rights Council mengadopsi resolusi penting mengenai ”kematian ibu dan tingkat kesakitan yang dapat dicegah, dan hak asasi manusia”.
Resolusi itu mengisyaratkan, pemerintah tak hanya mengakui bahwa angka kematian ibu melahirkan dan angka kesakitan yang tinggi tidak bisa diterima, tetapi juga menegaskan bahwa keselamatan ibu melahirkan dan kesehatan bayi yang dilahirkan adalah isu hak asasi manusia; harus dilindungi di tingkat nasional maupun internasional.
Konsensus Kairo
Kemajuan suatu bangsa lebih ditentukan oleh kualitas manusia warganya ketimbang tanah yang subur dan sumber daya alam yang melimpah. Pertumbuhan ekonomi yang genuine, yang dibutuhkan untuk membangun suatu bangsa, tak mungkin terwujud tanpa dukungan manusia berkualitas.
Kualitas manusia yang diharapkan mencakup pendidikan berkualitas yang mampu menginternalisasikan etika untuk membangun tanpa merusak; untuk memiliki pandangan jauh ke depan, dan menempatkan kesejahteraan bersama serta kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Syarat-syarat seperti itu harus ditegaskan karena sejarah telah memberikan pelajaran bagaimana suatu bangsa punah, seperti ditunjukkan Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive (2005). Kolaps ditengarai oleh ledakan pertumbuhan penduduk dibarengi kualitasnya yang rendah, penyakit, perang dan perebutan kekuasaan yang terus-menerus disertai kehancuran lingkungan dan sumber daya alam.
Pilihan untuk berkembang menjadi bangsa yang besar dengan warga masyarakat yang berkualitas tetap bisa ditentukan. Namun, hal itu tidak mungkin dicapai tanpa upaya mengendalikan jumlah penduduk melalui program-program kesehatan dan keluarga berencana (KB) berperspektif jangka panjang, menyeluruh, dengan pendekatan siklus kehidupan (life cycle approach) dan hak asasi manusia.
Konsensus Kairo menempatkan individu manusia di jantung proses pembangunan. Sasarannya adalah kualitas manusia. Cita-cita itu mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan akan KB dan pelayanan kesehatan reproduksi bersama pelayanan kesehatan dasar lainnya serta pelayanan pendidikan. Dengan itu, stabilitas penduduk terjadi secara alamiah, tanpa ”koersi” dan kontrol.
Untuk mencapai itu semua, setiap individu harus memiliki pilihan-pilihan mencakup jarak melahirkan, waktu dan jumlah anak yang direncanakan, serta mengakui peran sentral perempuan dan orang muda di dalam proses pembangunan.
Seluruh programnya dilandasi hak asasi manusia dan kebutuhan untuk memberdayakan perempuan—mencakup penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam segala bentuknya—dan peran serta laki-laki dalam seluruh program itu.
ICPD mengakui peran fundamental perempuan dalam proses pembangunan dan menjernihkan konsep hak-hak reproduksi. Program Aksi ICPD menekankan kesehatan reproduksi dalam posisi sentral, yang didefinisikan sebagai ”kesehatan menyeluruh secara fisik, mental, dan sosial” di seluruh wilayah terkait dengan sistem dan proses reproduksi.
Oleh karena itu, Konsensus Kairo dilengkapi dengan visi pembangunan yang luas dan komprehensif. Program aksi yang disepakati menunjukkan hubungan yang rumit antara kependudukan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan, termasuk di dalamnya lingkungan dan distribusi sumber daya yang merata; persebaran penduduk, perubahan iklim, urbanisasi, migrasi, koleksi data dan analisisnya.
Pertemuan Kathmandu
Pertemuan tiga hari Advokasi Akses Universal kepada Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan Jaminan Ketersediaan Kontrasepsi di Kathmandu, Nepal, tanggal 28-30 Juli 2009 itu terkait dengan itu semua.
Pertemuan dihadiri 90 peserta dari 12 negara—delapan di antaranya anggota Asosiasi Negara- negara Asia Selatan (SAARC)— diselenggarakan oleh Kantor Regional Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Kawasan Asia dan Pasifik serta Forum Parlemen Asia untuk Kependudukan dan Pembangunan (AFPPD).
Jaminan Ketersediaan Kontrasepsi Kesehatan Reproduksi (RHCS) oleh UNFPA didefinisikan sebagai jaminan ketersediaan dan pilihan luas kontrasepsi berkualitas serta ketersediaan sarana pelayanan kesehatan reproduksi lainnya untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, pada saat yang tepat, di tempat yang tepat. RCHS dicapai kalau setiap orang dapat memilih, menjangkau, dan menggunakan sarana kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual yang berkualitas, di mana pun ketika dibutuhkan.
”ICPD Kairo menetapkan akses universal kepada pelayanan reproduksi dicapai pada tahun 2015,” ujar Jagdish Upadhyay dari UNFPA New York. ”Target 5 b dari MDG + 5 adalah mengurangi 75 persen angka kematian ibu melahirkan pada tahun 2015.”
Namun, kemajuannya sangat lambat, begitu dikemukakan Dr Michael Mbizvo dari Departemen Kesehatan Reproduksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Masih sangat banyak perempuan dan kaum muda tak punya akses pada pelayanan reproduksi. Mereka terus-menerus menghadapi diskriminasi, koersi, dan kekerasan,” tegas Direktur Eksekutif UNFPA Thoraya Obaid melalui telekonferen.
Sampai saat ini, 536.000 perempuan meninggal setiap tahun karena komplikasi kehamilan dan saat melahirkan, 99 persennya di negara berkembang; sekitar 4,3 juta bayi meninggal dalam bulan pertama setelah dilahirkan, ditambah empat juta lahir mati karena komplikasi selama kehamilan atau saat melahirkan.
Setiap tahun 80 juta perempuan hamil tanpa diinginkan, 68.000 di antaranya meninggal karena aborsi tidak aman, 500.000 kasus baru kanker serviks atau leher rahim setiap tahun, separuhnya tak terselamatkan. Pada tahun 2007 terdapat lebih dari 2,7 juta infeksi baru HIV. Setiap dua orang mulai berobat, muncul lima infeksi baru (WHO/UNFPA, 2006).
”Akses kepada pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana akan mengurangi angka kematian ibu sampai 30 persen, mengurangi angka kematian anak sampai satu juta per tahun, mengurangi kehamilan tak diinginkan yang menyebabkan kematian akibat aborsi tidak aman,” tegas Jagdish.
Seluruh upaya saat ini harus dicurahkan untuk menjamin bahwa setiap kehamilan diinginkan, setiap kelahiran berlangsung aman, setiap bayi dilahirkan sehat. Tak seorang perempuan pun meninggal saat melahirkan.
Oleh MARIA HARTININGSIH
http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/08/07/1014340/memotong.lingkaran.kematian.ibu
Post a Comment