27/08/2009 09:26:34
Oleh : Dr W Riawan Tjandra
MASYARAKAT boleh bernafas kian lega karena UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP) telah berhasil dipromulgasikan 18 Juli 2009. Dalam desain prolegnas UU Pelayanan Publik tersebut merupakan komplemen dari RUU Administrasi Pemerintahan (RUUAP) yang sebangun dengan Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) di negeri Belanda atau Administrative Procedure Act di AS.
Secara teoritis, bisa dikatakan bahwa (R) UUAP merupakan kerangka formalnya dan UU Pelayanan Publik merupakan kerangka materiil dari sistem pelayanan publik untuk mendorong kualitas pelayanan prima kepada masyarakat pengguna jasa layanan publik. Dengan kata lain, jika (R) UUAP diibaratkan ‘bangunan rumah’, UUPP itu merupakan ‘isi rumah’-nya. Keduanya merupakan pasangan yang (tak) terpisahkan untuk meningkatkan kualitas/performa pelayanan publik pemerintah (dalam arti luas) terhadap rakyat. Dikatakan ‘pemerintah dalam arti luas’ mengingat UUPP mendefinisikan pelaksana pelayanan publik dalam perspektif makna yang sangat luas, yaitu meliputi pejabat, pegawai, petugas dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Hal itu berarti UUPP tidak hanya berlaku/mengikat bagi birokrasi pemerintah saja, tetapi juga lembaga-lembaga penyedia jasa pelayanan publik dalam arti luas termasuk pihak non-pemerintah/swasta yang melaksanakan fungsi pelayanan publik. Definisi luas terhadap pelaksana pelayanan publik tersebut terkesan kian meneguhkan yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara yang selama ini telah mengartikan istilah badan atau pejabat tata usaha negara menggunakan kriteria fungsional bukan struktural. Artinya, dengan kriteria fungsional tersebut pengertian pejabat pemerintah diartikan secara luas, yaitu tidak hanya yang berada dalam struktur organisasi eksekutif saja, tetapi siapa atau apapun yang berdasarkan izin pemerintah melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat baik di bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian dan lain-lain. Tafsir secara luas dalam mengartikan pengertian pemerintah tersebut di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dimulai sejak diterima dan dikabulkannya gugatan Dr Arif Budiman terhadap Rektor UKSW-Salatiga.
Jika dicermati (R) UUAP terkesan justru ingin kembali mengartikan istilah ‘pemerintah’ di dalamnya secara terbatas, yaitu hanya menggunakan kriteria struktural. Hal itu berarti nanti jika RUUAP telah berhasil dipromulgasikan, hanya eksekutif saja yang akan terikat terhadap regulasi itu. Jika RUUAP dilihat sebagai bangunan rumah dari UUPP sebagai isi-nya, maka akan terlihat bangunan rumah tersebut terlalu sempit dibandingkan isinya. Maka, sebelum (R)UUAP diundangkan, terlebih dahulu diperlukan harmonisasi substansi supaya kedua regulasi tersebut dapat menjadi pasangan yang serasi untuk mendorong lahirnya sistem pelayanan publik yang sungguh-sungguh mampu menghasilkan pelayanan prima dari lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelayanan publik, baik itu yang secara struktural berada di lingkungan eksekutif maupun privat yang mendapat delegasi kewenangan melalui sistem perizinan untuk juga melaksanakan fungsi pelayanan publik berdasarkan kriteria fungsional (dalam perspektif yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara).
Pelayanan publik melalui sistem e-government kini telah lazim diterapkan di berbagai instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Selain itu, kemudahan-kemudahan dalam memberikan pelayanan publik telah menjadi komitmen dari berbagai institusi pemerintah, misalnya Menkumham pernah menegaskan bahwa sejak diberlakukannya sistem online, perpanjangan dan pengambilan paspor dapat dilakukan di semua kantor imigrasi di seluruh Indonesia; di Solo dan di Kabupaten Ogan iIir telah dilakukan mesin KTP online. Kapolri pada tahun 2007 bahkan pernah mencanangkan perpanjangan STNK bisa dilakukan dengan sistem door to door sehingga pada tahun 2007 tujuh Samsat berhasil mendapatkan sertifikasi ISO 9001:2001. Terdapat contoh menarik di Kabupaten Jembrana, setiap pemerintah desa mewajibkan semua perangkat kepala urusan menguasai komputer, demikian juga bagi PNS golongan II dan III sebelum diangkat harus lulus tes mahir komputer. Di DIY sendiri hampir di seluruh SKPD bahkan telah memiliki SPM dan tidak asing dengan card system yang menjadi sarana masyarakat memberikan input/complaint terhadap pelayanan SKPD. Bahkan, di Kabupaten Gunungkidul telah beberapa kali dielaborasi pelatihan kapasitas dan penyiapan Personalia, Prosedur, Policy dan Organisasi (3PO) untuk melengkapi sistem pelayanan publiknya dengan sistem keterbukaan informasi publik mendahului implementasi efektif dari UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Berbagai peningkatan kualitas pelayanan publik yang telah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah/privat diharapkan semakin baik performanya dengan diundangkannya UUPP. UUPP tersebut telah mengatur secara relatif komprehensif hal-hal prinsip terkait penyelenggaraan pelayanan publik seperti: hak dan kewajiban bagi penyelenggara dan masyarakat pengguna layanan, standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi, hak komplain masyarakat secara langsung maupun melalui Ombudsman dan sistem sanksi bagi penyelenggara pelayanan yang gagal memenuhi target kinerja pelayanan. UUPP telah mengubah wajah sistem pelayanan publik tidak hanya sekadar sebagai charity (kebaikan hati) dari pemerintah, tetapi telah mengembalikan kedudukan rakyat sebagai subjek dan pemilik sah kedaulatan di negeri yang dalam konstitusinya menganut teori kedaulatan rakyat. Hal ini karena pelayanan publik juga merupakan bagian dari Hak Asasi Sosial.
(penulis adalah pengajar pada FH dan PPS UAJY) -n
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=204415&actmenu=45
Post a Comment