Sabtu, 8 Agustus 2009 | 10:43 WIB
KLOJEN - SURYA- Malang semakin panas? Bisa jadi, hal tersebut sebagai imbas pola penataan wilayah yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi saja. Setidaknya, hal itulah yang disampaikan oleh dosen arsitektur Universitas Merdeka Malang, Prof Respati Wikantiyoso Phd, Jumat (7/8) kemarin.
Menurut Respati, kebijakan pemkot dalam penataan ruang kota, cenderung mengabaikan orientasi lingkungan dan masyarakat. Kontrol pemkot terhadap pembangunan yang tidak menyediakan ruang terbuka hijau (RTH), dinilainya sangat minim, bahkan bisa jadi nihil.
Tak pelak, UU nomor 26 tahun 2007 yang mengatur kewajiban menyediakan RTH sebesar 30 persen, jadi sebuah aturan tanpa gigi. ”Kalau mau dievaluasi secara fair, RTH di Malang mungkin kurang tiga persen,” ujar mantan dekan Prodi Arsitektur Unmer ini.
Pemkot juga dinilai semakin mengabaikan peran praktisi dan akademisi. Dalam beberapa kali review problem perencanaan, pemkot memang kerap melibatkan mereka.
”Namun, apa yang kita sampaikan, kadang hanya dianggap sambil lalu, tidak ada kelanjutannya,” kritik Respati.
Ironis memang, beberapa kebijakan pembangunan pemkot, jelas-jelas melanggar UU RTH. Alih fungsi stadion, serta pemaksaan pembangunan mal yang tidak pada tempatnya, menurut Respati adalah sebagian kecil contoh kasus. ”Karena ini adalah undang-undang, maka pejabat pemkot yang memperbolehkan sebuah pembangunan tidak pada tempatnya, harusnya bisa diseret ke penjara,” kata Respati.
Bila ini dibiarkan, bukan tidak mungkin pada beberapa tahun ke depan, cerita bahwa Malang merupakan kota ternyaman di propinsi ini, tinggal sebuah cerita. Mengenai solusi terbaik, ia menyarankan penggunaan daerah bantaran sungai, sebagai pengganti RTH yang terlanjur ‘dijual’ pemkot kepada pihak swasta. ab
http://www.surya.co.id/2009/08/08/soal-tata-kota-pemkot-komersial.html
Post a Comment