Jumat, 07 August 2009
Meri dan Tita Diterima di UNP
Syaiful Anif dan Hendrinova
PADANG - Berderai air mata Rosmaniar mendengar anaknya lulus di UNP Padang. Bisa juga anaknya diterima rupanya. Tapi, derai air matanya kian menjadi-jadi, sebab ongkos untuk ke Padang dari Dharmasraya saja tak ada, apalagi untuk membayar uang masuk. Anaknya Tita Deswira, tak kalah kalutnya. Ia tak lagi mau keluar rumah.
Sementara itu, di Padang, seorang gadis lain bernama Meri Fatmawati, menggigil tangannya ketika memegang koran, tatkala namanya tertulis lulus di UNP. Jika selama ini, ada berita orangtua yang menjual goreng untuk sekolah anaknya, kini Meri itu benar yang menggalas goreng. Tumbuak tanak. Keduanya remaja putri ini sama-sama dibalun nasib buruk, uang tak punya. Duhai sanak.
Meri
Meri Fatmawati, asal Santok Pariaman, si penjual goreng pisang di SMA 7 Padang itu, seolah-olah tidak percaya dengan kabar yang didapat dari temannya. Informasi dari internet mengatakan, ia lulus SNMPTN di Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Padang (UNP).
Ia pun bersabar menunggu hari pagi, untuk mendapat kepastian dari koran. Tak sabar ia segera mendatangi penjual koran di pagi harinya di Pasar Lubuk Buaya. Ia pun gembira, karena namanya memang tercantum di sana.
Namun kegembiraanya itu hanya sesaat, ketika memandang uang kuliah sebesar Rp2,6 juta yang harus ia bayar. Mungkin benar juga kata orang, penjual goreng sepertinya, memang tidak layak untuk kuliah.
"Lulus ujian saja, sudah dianggap sinis oleh banyak orang. Maklum saya tidak pernah ikut bimbingan belajar. Ikut ujian pun hanya sebagai obat hati bagi saya. Walau orangtua sudah memberi lampu merah, saya diam-diam menguras tabungan dari menjual goreng, untuk membeli formulir SNMPTN," kenang Meri, menceritakan duka laranya mengikuti ujian kepada Singgalag, Kamis (6/8).
Ia memang takut berterus terang pada ayahnya yang hanya penjual ikan di Pasar Raya, Padang. Kalau tidak ada ikan, terkadang ayahnya berdagang petai. Hasil yang diperoleh hanya cukup buat biaya makan sehari-hari dan sedikit tabungan untuk membayar kontrakan di Perumahan Rahaka Lubuk Buaya.
Karena itulah, ayahnya melarang Meri untuk kuliah. Kemana dana hendak dicari. Apalagi keempat adiknya juga masih sekolah. Beban berat berada di pundak, kalau Meri nekat kuliah.
"Ayah sebenarnya senang juga begitu tahu kalau saya lulus ujian. Karena memang tidak mudah untuk bisa lolos ujian secara nasional. Ayah telah berusaha meminjam sana sini. Tapi siapa yang percaya meminjamkan uangnya pada keluarga kami yang miskin," tambahnya. Memang, orang miskin sering ditolak sebelum dipinjamkan. Sebagai ayah, lelaki itu, bersikakeh demi anak gadisnya.
Berkat informasi dari orang-orang dekatnya, Meri akhirnya mendatangi Harian Singgalang. Ini baginya ikhtiar terakhir, di saat batas membayar uang kuliah hampir datang. Dengan menahan genangan air mata, ia menceritakan beban yang ada dalam hatinya.
Walau miskin, ia tetap ingin kuliah seperti teman-temannya yang lain. Walau nanti harus berjualan goreng untuk mencari biaya kuliah sehari-hari, ia mengaku tidak malu. Baginya, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan.
Derai air mata
Gara-gara uang, semua impian dan cita-cita bisa kandas. Lulus di perguruan tinggi melalui SMPTN, namun tak bisa mendaftar ulang. Nasib malang itu dialami Tita. Cita-citanya kandas gara-gara uang Rp2,6 juta.
Alangkah bangganya Tita Deswira, ketika namanya dinyatakan lulus dalam SMPTN. Impian untuk kuliah yang sudah lama digantung, seolah akan terwujud dalam waktu dekat. Namun, semua itu, ternyata hanya fatamorgana.
Tita anak dari Rosmaniar, 41, warga Taratak, Kecamatan Sitiung Kabupaten Dharmasraya. Tita dinyatakan lulus di Universitas Negeri Padang (UNP).
Menurut Rosmaniar, uang sebesar Rp2,6 juta terlalu berat bagi dia dan keluarganya. Gelap dunia dia rasakan untuk mencarikan uang pendaftaran ulang sebanyak itu.
"Jangankan untuk bayar uang kuliah, untuk ongkos anak dari Dharmasraya ke Padang saja, uang tak punya," kata Ros, seraya mengaku, untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari saja, ia sudah pontang-panting dan banting tulang.
Tita sendiri kini sudah putus asa. Lulusan SMKN 1 Pulau Punjung kini lebih banyak diam dan hanya bisa meratapi nasib. Raut wajahnya terlihat murung, bahkan bola matanya terlihat merah dan membengkak. Suaranya serak akibat menangis.
Tita sedih, karena rekan-rekan yang sama mengikuti SMPTN dengan dirinya, bisa melanjutkan kuliah ke Padang, sementara dia tak mampu karena terhadang tembok biaya.
Ketika Singgalang mendatangi kediaman Tita, gadis itu menangis. Dia bertanya, kemana bisa mengadu di negeri ini? Tata hanya bisa bergantung kepada ibunya, karena orangtua laki-laki dia, sudah dua tahun belakangan entah pergi ke mana. Tita tak tahu lagi kemana beban pikiran mau ia sandarkan?
Ibu Tita, hanya seorang buruh di ladang. Lain kali ibu Tita bekerja di sawah orang. Upah yang didapatkan hanya pas-pasan untuk mencukupi nafkah sehari-hari. Tata sendiri memiliki empat saudara yang harus ditanggung Rosmaniar.
Tata, kini menunggu uluran tangan dermawan. Dia berharap ada kejaiban yang akan mengantarkannya dia bisa kuliah di Padang. Batas akhir pendaftaran ulang di UNP 10 Agustus mendatang. Tata berharap ada dermawan yang mau membantu dirinya.
Orangtua Tita bukannya tak berusaha. Bahkan sudah mencoba pinjam uang ke berbagai pihak. Lantaran kemiskinan, rekatif tak ada orang yang mau meminjamkan uang.
Sambil mengusap air matanya, Tita mengaku sudah tujuh hari belakangan dia menahan air mata. Tiap hari dia merenung, haruskah cita-cita kandas gara-gara uang?
Hasrat Tita jadi guru kini sedang dipertaruhkan. (*)
http://www.hariansinggalang.co.id/index.php?mod=detail_berita.php&id=2819
Post a Comment