Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Wajah TV Kita di Bulan Ramadan

Sabtu, 29-08-09 | 22:07

Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Sulsel)

Ramadan bagi stasiun televisi berarti momentum yang mendatangkan berkah dalam arti yang sesungguhnya. Berbagai program spesial dijejal, mulai beduk sahur hingga sahur berikutnya, selama sebulan penuh. Jurus lihai memanjakan penonton itu dibuat dengan satu maksud: meraup sebanyak mungkin iklan.

Paling tidak, ada tiga alasan mengapa kita perlu mencermati wajah pertelevisian selama Ramadan. Pertama, secara sosiologis, Ramadan biasanya ditetapkan sebagai hari libur bagi anak sekolah, sehingga mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Pada bulan ini pula, terjadi perubahan pola tidur/hidup masyarakat yang tengah menjalankan ibadah puasa. Lembaga penyiaran kemudian memanfaatkan situasi ini dengan melakukan penyesuaian jadual siaran, termasuk jam tayang utama (prime time).

Aspek sosiologis ini memengaruhi alasan kedua, yakni ekonomis. Secara ekonomis, pengelola TV melihat dinamika perubahan yang terjadi pada mayoritas masyarakat ini sebagai peluang bisnis. Bila biasanya jam tayang utama berkisar antara pukul 19.00-21.00, maka selama Ramadan prime time menjadi lebih panjang, dimulai saat menjelang berbuka puasa hingga pukul 21.00, ditambah pukul 02.30-04.30.

Malah, pukul 01.30-05.00 yang pada hari biasa disebut sebagai "jam tayang mati" karena sepi pemirsa, mendadak hidup dan menjadi arena rebutan penonton.

Secara kalkulatif, berkah Ramadan bagi stasiun TV ini bisa dihitung. Bila sehari "jam tayang mati" yang berubah "hidup" itu sekitar 4 jam, maka sebulan menjadi 120 jam. Biasanya, setiap 1 jam tayang terdapat 24 spot iklan, berarti dalam sebulan mencapai 2.880 spot iklan yang bisa dijual.

Jika pada bulan normal 1 spot iklan berdurasi 30 detik dijual kurang dari Rp 5 juta, selama Ramadan harganya melonjak antara Rp 12 juta sampai Rp 15 juta per spot. Ini belum termasuk penjualan iklan paket dengan harga khusus. Bisa dibayangkan, berapa besar keuntungan ekonomis yang bakal ditangguk stasiun TV dengan hitung-hitungan kasar seperti ini.

Alasan ketiga yang membuat stasiun TV perlu dicermati, yakni menyangkut aspek agamis. Sebagaimana diketahui, selama Ramadan, umat Islam menginginkan suasana kondusif guna mendukung kekhusyukan ibadahnya.

Karena itu, lembaga penyiaran diharapkan menahan diri (sikap pasif) untuk tidak menyiarkan siaran-siaran yang bisa menodai totalitas ibadah tersebut. Di sisi lain, umat Islam juga membutuhkan program-program yang dapat memberikan pencerahan dan menambah wawasan demi peningkatan iman dan takwanya kepada Sang Khalik (sikap pro-aktif).

Sekaitan dengan itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) senantiasa mengeluarkan imbauan agar stasiun TV tidak menayangkan program bermuatan kekerasan, program yang vulgar dengan bumbu seks dan mesum,

program yang mengandung unsur pergunjingan (ghibah), dan program-program yang berisi penyebaran ajaran sekte atau kelompok agama yang secara resmi dinyatakan terlarang oleh pemerintah. Kedua lembaga ini juga mengimbau agar stasiun TV tidak menayangkan iklan,

program dan promo yang bertema ghaib, klenik, atau praktik spiritual magis, serta tidak menayangkan film atau sinetron yang kesimpulannya menghalalkan apa yang dilarang agama, seperti kumpul kebo atau hubungan sesama jenis (lesbian/homo).

Mendadak Religi

Adakah imbauan itu ditaati? Mari kita cermati siaran televisi selama awal Ramadan ini. Tampak memang terjadi perubahan dari segi pemanfaatan simbolisasi Islam yang cukup menonjol. Penggunaan jilbab, kerudung, songkok, sorban, sajadah, serta baju koko/gamis selama Ramadan menjadi pemandangan lumrah yang dikenakan para presenter dan pesohor.

Selain tampilan busana, suasana keislaman juga coba dihadirkan dalam ucapan/ungkapan meski terasa hanya sebatas asesoris. Judul-judul acara unggulan di sejumlah stasiun TV juga dikreasikan agar pas dengan nuansa Ramadan. Mulai dari sinetron, musik, reality show, variety show, komedi, bincang-bincang, kuis, liputan hingga perjalanan dibuat se-"religius" mungkin.

Perubahan yang terbilang ekstrem terjadi pada acara infotainment. Acara yang dicela lantaran kerap membongkar aib orang ini, bisa berubah drastis meski tetap menampilkan figur artis sebagai jualannya. Hanya saja, isinya tak lagi melulu berupa perselingkuhan, gonta-ganti pacar, konflik suami-istri, rebutan anak hingga kawin-cerai.

Tapi, berupa aktivitas artis selama menjalankan ibadah puasa Ramadan, seperti pengalaman berbuka dan sahur, mengunjungi dan menyantuni fakir-miskin/yatim-piatu, atau berziarah ke tempat-tempat bersejarah yang terkait dengan penyebaran agama Islam.

Para pengelola TV terlihat panjang akal. Mereka mencoba menahan diri untuk tidak menggunjingkan orang selama Ramadan melalui ghibahtainment. Namun, mereka melakukan perubahan isi dengan target penonton yang sama. Maklum, tayangan infotainment merupakan salah satu jualan yang cukup laris-manis.

Buktinya, dalam seminggu jumlah program acara jenis ini bisa mencapai ratusan episode. Agus Maladi Irianto mencatat, selama Januari-Agustus 2007, rata-rata dalam sehari acara infotainment ditayangkan lebih dari 15 jam atau dalam seminggu lebih dari 210 episode (Kompas, 4/1/2008).

Rapor Merah

Atas kondisi ini, muncul kritik terhadap siaran Ramadan yang dinilai miskin substansi pesan religi. Karena itu, meski diakui secara umum terjadi perbaikan pada tayangan Ramadan, namun wajah pertelevisian kita masih jauh dari ideal.

Tahun lalu, misalnya, MUI mengeluhkan tayangan yang mengumbar gender identity disorder alias kebanci-bancian dan kuis SMS yang dinilai tidak bermutu dan mengarah pada praktik perjudian. Tak ayal, Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI, HM Said Budairy, menilai rapor TV kita masih merah.

Tahun ini, kecenderungan pelanggaran terhadap UU Penyiaran dan Keputusan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Program Siaran (SPS) masih potensial terjadi. Kecenderungan itu meliputi, adegan dan kata-kata kasar, pelecehan dan eksploitasi tubuh perempuan,

pelecehan terhadap kelompok lain yang memiliki kelainan tubuh tertentu, penggambaran tentang rekonstruksi kejahatan yang terlalu detail, tidak memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan, eksploitasi anak, hingga tidak mencantumkan klasifikasi acara, yang penting untuk melindungi anak-anak sebagai khalayak khusus. (**)

http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=67756
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts