19 Maret 2009, 09:29
Oleh Erlizar SH
SETELAH membaca tabloid Kontras, edisi Kamis, 12 Maret 2009, tertulis judul yang begitu menggugah rasa keprihatinan saya terhadap dunia kedokteran di Aceh, “Menguak Malpraktik Medik di Aceh.” Judul itu mungkin saja tidak terlalu familiar di masyarakat Aceh yang berada di daerah-daerah pedesaan. Akan tetapi, dengan adanya pemberitaan di media massa akhir-akhir ini, pembicaraan masalah dunia kedokteran kian hangat dan menakutkan bagi masyarakat. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia, seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai diwarnai pelanggaran hukum. Gejala ini tampak menjalar ke mana-mana, baik di dunia Barat yang memeloporinya maupun Indonesia. Hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak akan pentingnya perlindungan hukum terhadap pasien maupun dokter. Salah satu tujuan dari hukum adalah menjamin kebahagian dan ketertiban dalam masayarakat, menurut ahli hukum berkebangsaan Belanda J.Van Kan mendefenisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat, dalam kontek ini secara khusus adalah kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus diutamakan.
Kemampuan profesional tenaga kesehatan merupakan salah satu indikator kepercayaan pasien terhadap dunia medis khususnya tenaga kesehatan, maka sudah seyogianya kepercayaan tersebut harus dilakukan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kode etik medik. Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien merupakan dampak dari keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap hak-hak mereka dari timbulnya hubungan hukum antara pasien dan dokter sebagai tenaga profesi. Dengan semakin maju dan meningkatnya kemampuan pengetahuan masyarakat, hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap kemampuan ilmu (science) dan pengalaman (experience) yang dimiliki oleh dokter bersangkutan dalam dunia kedokteran dan teknologi. Penyalahgunaan kemampuan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesi yang merugikan pasien dan atau bertentangan dengan hukum dinamakan malpraktik (negligence) di bidang kedokteran. Maka oleh sebab itu penjelasan tentang hak dan kewajiban pasien secara hukum sangat penting dilakukan. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan kehati-hati dari tenaga kesehatan dalam mejalani tugas profesinya sebagai dokter. Keselamatan dan perkembangan kesehatan merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasienya. Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Perlindungan terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup, akan tetapi sangat disayangkan kaedah-kaedah dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang memerlukan peraturan pelaksana sampai sekarang masih belum ada realisasinya.
Di Indonesia terdapat ketentuan persetujuan (informed consent) yang diatur antara lain pada Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 dan Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88 yang menjelaskan tentang informed consent adalah:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri;
2. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis;
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat (memenhi syarat) tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya;
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam;
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting;
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Dokter sebagai tenaga kesehatan sangat perlu memahami adanya landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dan pasien. Mengetahui atau memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter, merupakan hal sangat penting, karena dinamika kehidupan masyarakat terus berkembang pada aspek kesehatan. Sehingga terkadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter, kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur pidana. Dalam hukum pidana dikenal kata “schuld” yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa. Ini merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana agar dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Sebagai kesalahan culpa menurut Oemar Sono Adji, misalnya, ia mengandung 2 (dua) unsur atau persayaratan yaitu:
(1). Kurang hati-hati, kurang waspada, (voorzichtig), dan (2). Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (Voorzien).
Sehingga suatu hubungan kausal yang lebih, merupakan kesalahan profesi dokter dan dapat dipertanggungjawabkan karena tidak memenuhi kewajiban. Ini dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Dokter dapat dimintakan tanggung jawab hukum apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability). Dokter tidak dapat berdalih dengan perbuatan tidak sengaja, sebab kelalaian/kesalahan dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien berhak digugat atau dimintai ganti rugi. Dari permasalahan tersebut dapat digarisbawahi bahwa apa pun tindakan yang akan dilakukan dokter--terhadap pasien menyangkut tugas dan profesinya sebagai dokter--harus tetap memperhatikan aturan hukum (guidance of law) yang berlaku.
* Penulis adalah Permerhati Sosial dan Mahasiswa S2 Hukum Unsyiah (Compiled Thesis)
Tulisan ini dimuat di Tabloid Kontras no: 481 edisi 19-25 Maret 2009.
http://m.serambinews.com/news/hak-dan-kewajiban-pasien
Post a Comment