Jumat, 04 September 2009 23:37 WIB
Penulis : Jajang Sumantri
JAKARTA-MI: Indonesia dan sejumlah negara sedang berkembang lain menolak liberalisasi perdagangan produk pertanian.
Alasannya liberalisasi beberapa produk khusus (special product) pertanian seperti beras, gula, jagung, dan kedelai akan mempengaruhi nasib petani, ketahanan pangan, dan upaya mengurangi kemiskinan di negara berkembang.
"Kita meminta supaya liberalisasi perdagangan produk pertanian ini memperhatikan kepentingan negara berkembang, terutam perlindungan terhadap masyarakat petani. Dengan azas pro-pembangunan (development) yang menjadi pilar dari negosiasi kita meminta ada perlakuan Special Differential (S & D) atau fleksibilitas yang jauh lebih besar bagi negara sedang berkembang terutama di sektor produk pertanian,"ujar Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, melalui telekonferensi dengan wartawan dari New Delhi, India, Jumat (4/9).
Pertemuan informal G-33 yang dihadiri 18 menteri dan perwakilain lain dari 35 negara yang diundang pada PITM, menyerukan kembali mandat Hong Kong Ministerial Declaration di mana Perundingan Pertanian harus dilakukan lebih awal dibandingkan dengan semua isu perundingan lainnya.
"Para Menteri G-33 juga menegaskan kembali kemauan politik untuk berkontribusi secara konstruktif agar Putaran Doha dapat menghasilkan sesuatu yang adil, seimbang dan pro-pembangunan negara anggota," ujar Mari.
Hasil negosiasi ini sangat penting dalam rangka proses pemulihan dari krisis global dan mencegah meningkatnya proteksionisme.
Pertemuan ini juga dilakukan supaya ada kemajuan yang konkrit sebelum pertemuan Kepala negara G-20 di Pittsburgh, yang akan digelar pada minggu ketiga September 2009.
Sementara itu, negosiasi antara negara maju dan negara berkembang dalam Pertemuan Informal Tingkat Menteri (PITM) di New Delhi itu, yang membahas penurunan tarif bea masuk (BM) produk pertanian dan industri TPT dan sepatu tampaknya masih alot.
Di satu sisi negara maju seperti AS dan Eropa menginginkan penurunan tarif BM dilakukan secara mandatory (wajib). Di sisi lain negara berkembang seperti Indonesia menginginkan penurunan tarifnya secara sukarela.
"Masalah penurunan tarif ini memang isu yang sangat menarik. Pihak AS, China, India dan Brazilia tidak terlalu memihak dengan keinginan kita," ujar Mari.
Kendati belum menyatakan setuju dengan penurunan tarif tersebut, pihak AS, tetap menyatakan komitmennya untuk melanjutkan pembahasan isu tersebut termasuk membahas isu strategis lainnya seperti masalah kemiskinan.
"AS serius untuk memulai negosiasi, baik isu agrikultur maupun masalah penduduk miskin berpenghasilan di bawah US$500 per kapita," papar Mari.
Mengenai praktik dumping dan masalah- masalah produk jasa lainnya, Mari yakin hasil negosiasi kali ini akan lebih kongkret. "Saya yakin hasilnya kongkret," pungkas Mari.
Pertemuan Informal Tingkat Menteri (PITM) tersebut bertujuan untuk memperkuat komitmen negara anggota WTO bagi penyelesaian perundingan Putaran Doha. (Jaz/OL-7)
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/09/09/94160/4/2/Negara-Berkembang-Tolak-Liberalisasi-Perdagangan-Produk-Pertanian
Post a Comment