Senin, 7 September 2009 | 04:15 WIB
HANDRAWAN NADESUL
Betul, untuk kebutuhan rakyat, lebih baik diperbanyak puskesmas, bukan rumah sakit (apalagi) kelas dunia.
Reformasi sektor kesehatan kita tak harus sama dengan Amerika Serikat sebab masalah kesehatan kita berbeda.
Rakyat AS rata-rata tidak buta hidup sehat. Mereka, kebanyakan, sudah melek media. Wawasan kesehatan memampukan mereka tak gampang sakit. Maka, pola penyakit mereka pun tak serupa dengan kita.
Faktanya, hidup sehat semua rakyat kita belum memadai. Pendidikan kesehatan sekolah sekadar kognitif ketimbang afektif. Yang tak mengenyam pendidikan, wawasan hidupnya lebih papa. Mereka tak membaca koran atau majalah. Radio dan televisi belum menambah pintar agar rakyat tak jatuh sakit.
Puskesmas, ujung tombak
Rancangan pembangunan kesehatan kita menganut paradigma sehat, bukan paradigma sakit. Rumah sakit tingkat kabupaten betul dibutuhkan. Namun, pilihan membangun lebih banyak puskesmas harus jadi prioritas.
Puskesmas bukan rumah sakit yang menunggu pasien datang. Puskesmas memberdayakan masyarakat agar tidak sakit dan menjadi lebih sehat (preventif dan promotif). Beban dan ongkos rumah sakit berkurang bila kerja puskesmas bagus.
Membicarakan kesehatan sejatinya menyoroti 80 persen rakyat yang belum tentu bisa berobat setiap kali sakit. Mereka rentan jatuh sakit dan perlu dibela agar selain hidup lebih berkualitas, penghasilannya tak habis hanya untuk belanja obat.
Membangun paradigma sehat tak semahal membuat rumah sakit. Konsepnya menyuluh (KIE: komunikasi, informasi, edukasi). Kasus tak tepatnya reformasi kesehatan sejumlah negara sedang berkembang tiga dekade lalu— karena anggaran minim—dihabiskan untuk membangun rumah sakit, bukan mendahulukan membangun puskesmas.
Kita beruntung. Berkat Inpres Puskesmas pada awal Orba dulu, buah pembangunan kesehatan kita dilirik negara tetangga. Sistem Kesehatan Nasional kita dipuji. Konsep posyandu dan keberhasilan KB diacungi jempol. Sayang, kini sektor kesehatan kita tertinggal ketimbang Vietnam, Thailand, bahkan Banglades, yang dulu mengadopsi cara kita membangun kesehatan, antara lain lewat puskesmas.
Membangun di ”hulu”
Masalah kesehatan kita sejatinya bagaimana membangun kesehatan bagi 80 persen lebih rakyat yang belum pintar hidup sehat. Status kesehatan kebanyakan rakyat kita tak mungkin diatasi dengan rumah sakit dan obat-obatan. Percuma anggaran dinaikkan bila dipakai untuk memikul ongkos berobat rakyat yang masih rentan jatuh sakit. Lebih murah, rakyat diberdayakan agar tidak sakit (cost-effective preventive health intervention).
Itu menjadi alasan kita mengapa kesehatan perlu dibangun di ”hulu”, bukan di ”hilir”. Jika pembangunan kesehatan berkutat di ”hilir”, anggaran habis hanya untuk obat dan layanan rumah sakit. Sejatinya lebih dari 50 persen penyakit rakyat itu tak perlu terjadi karena bisa dicegah. Di sinilah puskesmas berperan.
Jika selama ini puskesmas tidak menambah rakyat pintar mencegah penyakit, bukan salah programnya, tetapi karena buruk implementasinya. Tidak semua dokter puskesmas siap dan mau menjalankan tugas manajerial puskesmas.
Tugas puskesmas menjemput bola, tidak duduk menunggu pasien datang. Namun, kebanyakan puskesmas hanya menjadi balai pengobatan. Jika 12 program lebih puskesmas dijalankan, masyarakat bukan saja tidak gampang sakit, kualitas hidup pun naik. Untuk itu revitalisasi puskesmas perlu lebih dilebarkan.
Memilih membangun kesehatan di ”hilir” memikul dua kerugian, yaitu anggaran habis untuk belanja obat dan layanan rumah sakit.
Bapak Presiden berniat membangun rumah sakit kelas dunia agar pasien kita tidak berobat ke luar negeri (Kompas, 3/9/2009). Hasrat membangun rumah sakit kelas dunia memang tak keliru. Namun, bagi rakyat, pilihan itu belum prioritas karena hanya menyelamatkan hilangnya devisa segelintir orang Indonesia. Itu berarti pemerintah membela tak lebih dari 10 persen populasi.
Kerugian negara akibat kehilangan devisa pasien berobat ke luar negeri tidak sebanding ongkos sosial akibat tidak memampukan 80 persen rakyat yang tak selalu bisa berobat setiap kali sakit. Pembangunan kesehatan mereka wajib dibela. Caranya, memberdayakan mereka pintar hidup sehat.
Kesehatan itu investasi, bukan ongkos. Membangun rumah sakit itu ongkos, bukan investasi. Sementara membangun puskesmas itu investasi agar memampukan rakyat membatalkan sakitnya dan menjadi lebih sehat. Maka, agar pembangunan kesehatan membuahkan investasi bangsa masa depan, kiblat pembangunan kesehatan kita eloknya berorientasi di ”hulu”, bukan menunggu rakyat telanjur sakit dan memberi obat murah atau layanan rumah sakit gratis setelah rakyat tersungkur di ”hilir”.
HANDRAWAN NADESUL Dokter; Pernah Mengelola Puskesmas; Pengasuh Rubrik Kesehatan; Penulis Buku
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/07/04152796/rakyat.dan.kebutuhan.puskesmas
Post a Comment