2009-10-14

Emi Yunita

Kerobohan menara seluler (BTS/tower) belakangan semakin marak terjadi dengan berbagai alasan. Mulai dari peraturan daerah (Perda) untuk penertiban tetapi ujungnya peningkatan pendapatan, tidak ada izin, pelanggaran operator, hingga publik yang merasa dirugikan. Kasus terakhir yang masih dalam persidangan adalah perobohan menara milik beberapa operator telekomunikasi nasional dan penyewa menara seperti PT Solusindo Kreasi Pratama (Indonesian Tower). Saat itu tercatat 16 menara untuk kedua kali dirobohkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung pada Agustus lalu. Selain Bali, beberapa daerah lainnya juga tercatat mempunyai persoalan yang hampir mirip dalam penanganan menara telekomunikasi tersebut. Masalah itu bakal menjadi persoalan serius dan semakin menyulitkan investor untuk melakukan ekspansi jaringan telekomunikasi.

Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Ridwan Effendi, Rabu (14/10) mengatakan, 57 kabupaten/kota dari 400 kabupaten/kota bakal mempunyai persoalan dalam penanganan menara seluler. Salah satunya adalah persoalan yang mirip dengan yang dilakukan Pemkab Badung.

"Untuk itu sangat diperlukan koordinasi dengan mengefektifkan aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah," katanya.

Dia menjelaskan, penguatan koordinasi tersebut seiring dengan kebijakan retribusi daerah yang bisa dilakukan pemerintah daerah. Apalagi, dalam kasus Badung, tak hanya meningkatkan pendapatan asli daerah tapi juga ada upaya monopoli pengelolaan menara oleh pihak tertentu.

Secara terpisah, Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) Gatot S Dewa Broto menginginkan kasus perobohan menara telekomunikasi jangan sampai terulang lagi di daerah lain. Pemerintah daerah diharapkan membuat aturan yang sejalan dengan kebijakan nasional yang ada sehingga tidak membuat tumpang tindih.

Sementara itu, persoalan juga bisa ditimbulkan karena gugatan dari publik yang merasa dirugikan akibat keberadaan menara yang mengancam keselamatan masyarakat.

Depkominfo sendiri pernah menganjurkan agar kerugian yang dialami publik bisa dilakukan dengan class action terhadap pemilik dan pengelola menara.

Warga Protes

Sebelum upaya tersebut dilakukan maka perlu dilakukan koordinasi dan dialog untuk mencari solusi bersama.

Salah satu kasus yang tengah diproses adalah keberadaan menara seluler di Komplek Perumahan Cibiuk Indah Daeyeuhkolot, Kabupaten Bandung Selatan, Jawa Barat. Menara seluler tersebut ditengarai milik PT Tower Bersama yang dinilai tengah mengganggu keamanan dan keselamatan warga setempat sejak tahun 1997. Sejauh ini protes yang dilakukan warga tidak dihiraukan oleh pengelola menara tersebut.

"Kehadiran menara itu sangat menggangu kami. Jaraknya hanya 80 sentimeter dari rumah dan pemukiman warga sehingga kami meminta pengelola menara itu untuk bertanggung jawab," kata Wilfrida Lidwina yang juga warga kawasan tersebut.

Kehadiran menara tersebut baru sekitar lima tahun setelah kawasan perumahan itu dibangun. Warga berharap ada solusi bersama yang bisa ditempuh dengan pihak PT Tower Bersama, sebelum melakukan proses hukum yang lebih jauh.

Gugatan warga juga pernah dilakukan oleh 12 warga Menteng Wadas, Setia Budi, Jakarta Selatan, yang tidak setuju atas pembangunan menara di kawasan itu. Gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Hal yang sama juga pernah dilakukan melalui class action puluhan warga RT 06/02 Kelurahan Joglo, Jakarta Barat, ketika menggugat pembangunan menara TVRI ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. [R-15/H-12]

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=11081