2009-10-09
[JAKARTA] Perkiraan kerugian karena kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 40 triliun setiap tahun. Jakarta membutuhkan pemimpin tegas untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan publik.
"Menurut penelitian Institut Studi Transportasi (Instran) tahun 2003 kerugian akibat kemacetan di Ibukota baru sekitar Rp 6 triliun. Namun, setelah lima tahun berikutnya kerugian akibat kemacetan telah mencapai Rp 40 triliun. Angka itu meningkat tajam karena pemerintah belum mampu mengatasi kemacetan di Ibukota," ujar program advisor Instran Achmad Izzul Waro, dalam konfrensi pers Evaluasi Dua Tahun Kepemimpinan Fauzi Bowo-Prijanto Bidang Transportasi di Jakarta Pusat, Kamis (8/10).
Ia menyebutkan, total kerugian itu dapat dibagi atas menjadi beberapa sektor, seperti kerugian karena bahan bakar, kerugian waktu produktif warga, kerugian pemilik angkutan umum, dan kerugian kesehatan.
Kerugian bahan bakar dihitung dari banyaknya bahan bakar minyak yang terbuang karena kendaraan terjebak kemacetan. Jumlah kerugian yang paling besar adalah pada sektor kerugian bahan bakar yang nilainya bisa mencapai 40 persen.
Kerugian lainnya adalah sektor kesehatan, seperti stres atau faktor polutan asap yang keluar saat kemacetan dan terhirup oleh warga Ibukota lainnya yang sedang melintas.
Sedangkan, kerugian yang diderita pemilik angkutan umum karena berkurangnya jumlah rit yang bisa ditempuh angkutan umum akibat macet.
"Kinerja pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo dan Prijanto di bidang transportasi dalam dua tahun ini tidak memperlihatkan kemajuan, tapi justru kemunduran. Penilaian ini terutama bila dikaitkan dengan perkembangan pembangunan busway Transjakarta yang selama dua tahun ini justru terhenti sama sekali," katanya.
Belum Dioperasikan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Instran, Darmaningtyas menambahkan, koridor busway yang sudah dibangun sejak dua tahun lalu pun belum dioperasikan. Sementara anggaran yang dikucurkan untuk membangun Koridor IX dan X mencapai lebih dari Rp 210 miliar dan disia-siakan pemerintah daerah.
Selain itu, lanjut Darmaningtyas, belum selesainya persoalan negosiasi tarif Koridor IV-VII dengan konsorsium. Perbedaan tarif tersebut sekarang masih ditangani Badan Abitrase Nasional Indonesia (BANI) dan belum diputuskan.
Selama belum ada keputusan dari BANI, maka belum dapat dikatakan selesai, sebab itu berarti masih tetap ada perbedaan harga per kilometer antara yang harus dibayarkan kepada konsorsium dan hasil tender. [H-14]
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=10977

Post a Comment