Senin, 19 Oktober 2009 | 14:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar perkotaan dari ITB, Tommy Firman, sedikit terheran-heran dengan pertumbuhan superblok atau mal di Indonesia, terutama di Jakarta dan Surabaya.
“Di negara asalnya seperti Amerika Serikat, pertumbuhan superblok tidak sekencang di Jakarta,” kata Tommy, di Jakarta, Senin (19/10).
Menurut Tommy, pembangunan superblok yang terlalu kencang memperparah disparitas antara yang kaya dan yang miskin. Sebab, superblok hanya laku jika memiliki eksklusivitas.
“Eksklusif, itu yang jadi jualan pengembang superblok. Superblok tak beda dengan mal. Ia menyingkirkan lingkungan aslinya. Akibatnya, muncul enklave-enklave atau lingkungan ekslusif. Orang miskin tak bisa mengakses ke sana, kendati beberapa fasilitasnya bersifat publik,” kata Tommy.
Superblok atau residence dikembangkan berdasarkan Western Value. Idealnya, pemerintah daerah tidak terlalu gampang mengeluarkan izin untuk pembangunan superblok.
Dulu ada aturan 1:5:7. Artinya, pengembang harus membangun tujuh tempat tinggal orang miskin kalau ingin membangun satu superblok. Tempatnya pun berdekatan.
“Tapi kenyataannya, rumah untuk orang miskin dibangun jauh di pinggiran kota. Orang kaya tak mau disatukan dengan orang miskin. Superblok akhirnya dibangun sendiri di tengah kota karena itu yang diburu orang-orang berduit,” katanya.
Pembangunan superblok tidak salah. Yang perlu dicermati hanyalah penyeimbangnya. Jangan sampai seluruh fasilitas publik hanya bisa dinikmati oleh penghuni superblok. (Sigit Setiono)
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/10/19/14472749/superblok.memperparah.kesenjangan.kaya.dan.miskin
Post a Comment