2 November 2009, 14:16
* Stok Air Baku PDAM Terancam
Anggota Polhut Aceh Besar bersama Tim Terpadu Pemberantasan Perambah Hutan Lindung Aceh merobohkan sebuah gubuk yang diyakini milik perambah hutan di lokasi hutan lindung Seulawah, Saree, Aceh Besar, Minggu (1/11). SERAMBI/HERIANTO
BANDA ACEH - Pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh memperkirakan, sekitar 40% atau 2.400 hektare (ha) dari 6.300 ha areal hutan Seulawah, Saree, Aceh Besar, sudah dirambah masyarakat dengan berbagai modus operandi. Padahal, fungsi ekologis kawasan itu sangat urgen dan strategis, yakni sebagai hutan lindung, tempat penyerapan cadangan air untuk penyediaan (reservoir) air minum masyarakat yang bermukim di seputar hutan tersebut, maupun untuk penyediaan air baku bagi PDAM Tirta Montala di Aceh Besar dan PDAM Tirta Daroy di Banda Aceh.
Terkait dengan perambahan hutan lindung di kawasan Gunung Seulawah itu, Tim Operasi Terpadu (Opsdu) Pemberantasan Perambahan Hutan Lindung Pemerintah Aceh yang telah memulai operasinya sejak Sabtu (31/10) dan Minggu (1/11) kemarin di kawasan Hutan Lindung Seulawah, telah melakukan beberapa tindakan tegas. Di antaranya, merubuhkan enam dari 31 gubuk liar milik perambah hutan yang didirikan di kawasan hutan lindung. Perubuhan itu dimaksudkan agar perambah hutan tidak nekat lagi bermukim di kawasan tersebut.
“Jika perambahan hutan masih tinggal di kawasan yang telah dirambahnya, maka luas areal kawasan hutan lindung yang rusak bisa meningkat jauh. Kalau sekarang yang dirambah diperkiraan antara 20-40 persen, tapi nanti bisa lebih besar dari itu,” kata Ketua Tim Opsdu Pemberantasan Perambahan Hutan Pemerintah Aceh, Ir Asrianur, kepada Serambi, Minggu (1/11) di Seulawah. Menurut Asrianur, Tim Opsdu itu terdiri atas berbagai unsur dan lembaga pemerintahan. Seperti, Dishutbun Aceh, Polisi Militer, TNI, polisi, polhut, serta pegawai dari Kantor Gubernur Aceh dan sejumlah instansi terakit lainnya. Tim ini dibentuk berdasarkan SK Gubernur Irwandi Yusuf, sedangkan leading sector kegiatannya Dishutbun Aceh.
Tim Opsdu, kata Asrianur, dibentuk untuk melakukan operasi dan penertiban perambahan hutan lindung dan hutan produksi yang dilakukan masyarakat sekitar hutan lindung atau kelompok tertentu yang ingin mengambil manfaat dari kawasan hutan lindung untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya dengan cara merusak hutan.
Variatif
Modus operandi perambahn hutan lindung di kawasan Hutan Lindung Seulawah atau pada areal Taman Hutan Rakyat Seulawah (Tahura) Aceh Besar, ungkap Asrianur, cukup variatif. Di antaranya, pelaku berpura-pura bercocok tanam cabai, tomat, atau kacang, kemudian dia lanjutkan dengan berkebun cokelat (kakao), pinang, kemiri, atau tanaman keras lainnya.
Tujuan akhir pelaku adalah setelah pohon di kawasan hutan lindung ditebang dan dibuka jadi lahan kebun seluas 2-4 ha, maka lima tahun kemudian akan dia miliki. Dua tahun lalu, menurut polhut di Hutan Lindung Seulawah, luas areal Tahura Cut Nyak Dhien yang dirambah tidak selebar yang terjadi sekarang. Perambahan terbesar mulai dari luar kompleks Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah dan luar kompleks Brimob, sampai memasuki pinggira Kota Saree.
Selain itu, perambahan juga sampai ke Kabupaten Pidie, tepatnya setelah penurunan kawasan Tahura. Tim mendapati bahwa sepanjang 20 km menuju Laweung, Pidie, sudah botak kawasan hutan lindungnya. Polhut yang bertugas di kawasan Hutan Lindung Seulawah juga mengatakan jika Tim Opsdu Provinsi Aceh tidak mengambil sikap yang tegas terhadap perambah, yakni dengan menindak dan memindahkan pondok dan rumah mereka ke luar areal Tahura, maka kerusakan areal Hutan Lindung Seulawah kian besar. Jika sekarang kerusakannya diperkirakan antara 20-40% dari total areal sekitar 6.300 ha, maka dua tahun kemudian bisa sebaliknya, yang belum rusak justru tinggal 40 persen lagi. Jika ini terjadi, maka sediaan air baku untuk PDAM di Aceh Besar dan Banda Aceh bakal kering.
Menyikapi kondisi itu, Kadishutbun Aceh, Ir Hanifah Affan MM mengatakan pemberantasan illegal logging dan perambah hutan lindung dan hutan produksi di Aceh harus dilakukan secara terpadu. Hukuman badan, pembakaran, dan perusakan gubuk para perambah hutan di lokasi hutan lindung, menurut Hanifah, belum bisa menjamin bahwa perusakan hutan lindung di berbagai kabupaten/kota bisa berhenti. Oleh karenanya, sangat diperlukan peningkatan kesadaran masyarakat di sekitar hutan maupun para pendatang tentang betapa pentingnya pelestarian hutan.
Opsdu yang dilakukan bersama itu, menurut Hanifah, di samping bertujuan untuk penegakan hukum, juga untuk memompakan kesadaran bagi masyarakat yang telah silap bertindak, sehingga melanggar hukum. Dia ingatkan bahwa kerusakan hutan akan mendatangkan bencana alam yang dahsyat, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Itu hendaknya disadari masyarakat. “Jangan hanya karena ingin mendapat lahan perkebunan yang luas dan gratis, lalu mereka seenaknya membabat hutan,” timpal Hanifah.
Akibat penebangan pohon, kata Hanifah, 10 atau 20 tahun mendatang akan terjadi banjir besar di lokasi hutan yang telah diubah fungsinya menjadi kebun tersebut. Ketika datang banjir bandang, yang disalahkan justru pemerintah, bahkan dibilang kurang peduli dengan hutan yang telah gundul. Padahal, yang membuat hutan itu gundul mereka sendiri. “Banjir bandang datang, karena banyak pohon ditebang dan hutan diubah menjadi lahan tanaman palawija ataupun kebun cokelat, pinang, kemiri, dan lainnya,” ujar alumnus Institut Pertanian Bogor ini. (her)
http://www.serambinews.com/news/40-hutan-lindung-seulawah-dirambah
Post a Comment