Rabu, 25 November 2009 13:49
OLEH: WHENY HARI MULJATI
Jakarta – Seberapa pentingkah sungai menurut Anda? Tahukah Anda bahwa sebagian air yang kita konsumsi sehari-hari berasal dari sungai-sungai kita-yang kondisinya belakangan makin memprihatinkan?
Membandingkan pengelolaan sungai-sungai di Indonesia dengan di luar negeri tentu sangat mencolok bedanya. Sungai-sungai di Indonesia, termasuk yang di kota-kota belum dikelola dengan baik. Sampah dan bangunan liar di bantaran kali sudah menjadi pemandangan sehari-hari, begitu juga air kotor dan bau tak sedap yang muncul akibat limbah yang mencemari sungai.
Prigi Arisandi (33) konsisten mencermati soal ini. Selama bertahun-tahun ia telah memperjuangkan konservasi lahan basah, terutama terkait sungai-sungai di Jawa Timur (Jatim) yang berhilir di Kali Surabaya. Tak sedikit perusahaan yang ia hadapi karena mereka telah mencemari sungai-sungai dan lingkungan di Jatim dengan limbah industri mereka. Bahkan, Gubenur Jatim pun digugatnya karena tak juga menentukan kelas air pada sungai-sungai di Surabaya. Padahal pencemaran air sungai—yang notabene merupakan air baku untuk air minum masyarakat—oleh kalangan industri dan pengusaha makin memprihatinkan, dan para pelakunya harus segera dihentikan.
“Penentuan kelas air sangat penting, supaya pelanggaran para perusahaan yang mencemari lingkungan mendapatkan sanksi yang selayaknya,” ungkap Andreas, Koordinator Riset dan Pendidikan Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah/Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).
Hulu hingga Hilir
“Perusakan lingkungan sungai di Jatim terjadi mulai dari bagian hulu hingga hilir,” ujar Prigi. Mata air yang mengaliri sungai di Jatim banyak yang musnah karena hutan di beberapa gunung sebagai sumber air telah dijadikan lahan penanaman wortel dan sayuran. Sementara itu, di bagian hilir sungai dicemari limbah industri.
“Belum lagi adanya penambangan pasir menggunakan mesin yang marak terjadi. Itu dapat merusak ekosistem dan lingkungan sungai,” tutur Amiruddin, Koordinator Kampanye Ecoton, kepada SH, Selasa (24/11).
Sebagian perjuangan Prigi berhasil. Di antaranya, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya melalui putusannya pada 10 April 2007 memerintahkan Gubernur Jatim menyusun Peraturan Gubernur tentang Penetapan peruntukan Kali Surabaya dan menyusun pedoman dan menetapkan daya tampung beban pencemarannya.
Sejumlah besar pemangku kepentingan kini pun telah mendukung upaya Prigi, dan berbagai penghargaan terkait lingkungan pun didapatnya, baik di tingkat lokal, nasional, maupun penghargaan dari mancanegara.
Kendati merasa belum mencapai harapannya, tantangan demi tantangan yang tampak muskil sebenarnya satu persatu telah ditakhlukannya. Ia antara lain telah berhasil bekerja sama dengan Perum Jasa Tirta ASA IV Surabaya, SMAN 1 Wringinanom, dan SMAN 1 Driyorejo, melakukan pengelolaan bantaran Kali Surabaya menjadi laboratorium sekolah melalui kesepahaman antara pihak Jasa Tirta dan sekolah.
Sampai saat ini ada empat lokasi yang telah dimanfaatkan menjadi laboratorium sekolah. Bahkan, pada 12 Agustus 2009, SMAN 1 Wringinanom dengan konsep hutan tani bantaran mendapatkan penghargaan dari British Council sebagai model penyelamatan lingkungan sekaligus antisipasi perumbahan iklim, berbasis partisipasi multipihak antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Stop Cemari Kali Surabaya
Selain itu, Ecoton juga merilis Program Stop Cemari Kali Surabaya yang diluncurkan Gubernur Jatim pada 20 Januari bersama dengan perusahaan, instansi pemerintah, kepala desa, pelajar, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tujuannya guna mengurangi pencemaran Kali Surabaya. Kegiatan ini dilanjutkan dengan patroli rutin pemantauan pencemaran oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi, Polwitabes Surabaya, Perum Jasa Tirta, Dinas Kesehatan, dan LSM. Saat ini kegiatan ini sudah berhasil menangkap 17 pihak yang diduga menjadi pelaku pencemaran sungai.
Akibat pencemaran ini, beberapa jenis ikan dan flora kini tidak dapat dijumpai di Kali Surabaya.
“Hanya ikan dan binatang yang punya resistensi tinggi terhadap pencemaran saja yang masih bisa hidup di hilir,” ungkap Prigi.
Harapannya terkait sungai di Jawa Timur (Jatim) sederhana. “Anak-anak kita masih bisa mendapatkan sungai-sungai bersih yang layak untuk berenang,” tulis Prigi dalam surat elektroniknya kepada SH beberapa waktu lalu.
Untuk itu, bersama Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah/Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Prigi terus melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat, termasuk anak-anak sekolah, mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA).
Belum Prioritas
Menurut Prigi, masalah lingkungan umumnya tidak menjadi prioritas. Manusia akan sadar untuk berubah setelah mereka sendiri menjadi bagian dari korban. “Di Jepang, misalnya, polusi menjadi isu penting setelah tragedi banyaknya korban meninggal akibat penyakit minamata. Di Amerika gerakan konservasi muncul setelah banyak terjadi kepunahan spesies, dan di Eropa timbul kesadaran untuk membersikan lingkungan setelah ada kerusakan parah akibat revolusi industri,” lanjut Prigi.
Masalah utama penyadaran lingkungan adalah rendahnya kesadaran semua pihak. “Namun saya optimistis, makin banyaknya contoh keberhasilan pemulihan lingkungan hidup akan mampu menginspirasi banyak orang. Tentu saja upaya ini harus dipercepat dan diperluas skalanya,” harap Prigi.
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/jangan-cemari-kali/
Post a Comment