Sabtu, 7 November 2009 | 01:23 WITA
PEMERINTAH optimistis pemanfaatan bahan bakar nabati aau BBN akan mencapai 10 persen dari konsumsi bahan bakar minyak nasional atau 34 juta kiloliter pada tahun 2009. Konsumsi bahan bakar itu terdiri atas 30 juta kiloliter solar dan 4 juta kiloliter minyak tanah. Sikap optimistis didasarkan pada harga biodiesel yang makin kompetetif.
Untuk itu, pemerintah menyetujui penambahan subsidi BBN lewat Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 45 Tahun 2009. Dengan perpres tersebut, pemerintah memberikan tambahan subsidi BBN yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar minyak bersubsidi sebesar Rp 1.000 per liter.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita H Legowo, mengungkapkan di Jakarta, Senin (2/10), untuk tahun 2009, pemerintah mula-mula mengajukan subsidi BBN sebesar Rp 831 miliar. Anggaran tersebut tidak terpakai seluruhnya lantaran pasokan BBN ke Pertamina terhenti karena produsen menunggu kepastian subsidi dari pemerintah.
Untuk anggaran subsidi BBN tahun 2010, masih belum tuntas dibicarakan antara departemen energi sumber daya mineral dan departemen keuangan. Namun, besarannya sekitar Rp 1,3 triliun atau subsidi sebesar Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per liter.
Di Indonesia, belum ditetapkan harga patokan untuk bahan bakar nabati. Harga yang tercatat sekarang ini adalah sekitar Rp 9 ribu per liter. Harga tersebut terlalu tinggi bagi masyarakat. Untuk menggalakkan penggunaan BBN di masyarakat, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter pada tahun 2009.
Dalam kenyataan, besar kecilnya subsidi sangat bergantung pada harga bahan baku yang digunakan untuk produksi. Bahan baku untuk BBN di Indonesia, sebagian besar dari tetes tebu dan singkong. Padahal, Indonesia berpotensi besar untuk memproduksi BBN, terutama untuk biodiesel dan bioetanol.
Bahan bakar nabati merupakan satu-satunya bahan bakar pengganti energi dalam bentuk cair. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia menargetkan, pada tahun 2010, mampu memproduksi BBN jenis bioetanol sekitar 214.541 kiloliter. Pada tahun 2009, kapasitas produksi bioetanol hanya sebesar 93.000 kiloliter.
Pemerintah, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008, mewajibkan pemanfataan BBN dalam rangka ketahanan energi bagi badan usaha pemegang izin usaha niaga bahan bakar. Di samping itu, pengguna langsung wajib menggunakan BBN secara bertahap.
Peraturan itu menetapkan pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan BBN jenis biodiesel bersubsidi untuk tranportasi sebesar 1 persen pada tahun 2009. Pda tahun 2010 sebesar 2,5 persen, dan pada tahun 2025 sebesar 20 persen. Biodiesel untuk transportasi non-subsidi sebesar 1 persen pada tahun 2009, 3 persen pada tahun 2010, dan 20 persen pada tahun 2025.
Biodiesel untuk industri dan komersial sebesar 2,5 persen pada tahun 2009, 5 persen pada tahun 2010, dan 20 persen pada tahun 2025. Untuk pembangkit listrik, sebesar 0,25 persen tahun 2009, 1 persen di tahun 2010, dan 20 persen pada tahun 2025.
Pada hakikatnya, sumber bahan bakar nabati tetap berpotensi menggantikan bahan energi minyak bumi. Terlebih lagi, dalam 20 tahun ke depan, bahan bakar energi fosil akan berkurang. Dengan kata lain, pemanfaatan BBN, bukan hanya mengurangi konsumsi bahan bakar minyak, melainkan juga menghemat anggaran subsidi. ***
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/56428
Post a Comment