Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Atasi Deforestasi Dengan Berantas Kemiskinan

12/12/2009 - 12:40

INILAH.COM, Jakarta – Emisi gas rumah kaca di Indonesia ternyata dipicu deforestasi atau penggundulan hutan. Salah satu cara menekannya adalah dengan memberantas kemiskinan. Apa hubungannya?

Alan Oxley, Direktur World Growth, LSM lingkungan hidup yang berbasis di AS menepis anggapan sejumlah LSM berskala internasional yang selama ini menyimpulkan bahwa aktivitas perkebunan mengkontribusi deforestasi. Menurutnya, akar permasalahan dari deforestasi adalah kemiskinan.

“Hutan global itu sebenarnya sudah cukup dikonservasi. Jika ingin mengurangi deforestasi maka harus dimulai dari memberantas kemiskinan,” ujarnya kepada Vina Ramitha usai pemaparan di hadapan pers beberapa waktu lalu di Jakarta.

Pria asal Australia itu pun menilai, jalan keluar dari deforestasi bukanlah melalui kebijakan. Melainkan menghadirkan akses ekonomi kepada masyarakat yang hidup di bawah kemiskinan.

Berikut wawancara lengkapnya.

Selama ini, penyebab kerusakan kekayaan alam melalui deforestasi adalah aktivitas perkebunan. Benarkah menurut Anda?

Deforestasi merupakan permasalahan yang besar bagi keanakeragaman lingkungan hidup (biodiversity). Beberapa LSM mengklaim bahwa deforestasi ini disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan, misal untuk CPO.

Ini salah, sebab penyebab deforestasi adalah kemiskinan. Hutan global itu sebenarnya sudah cukup dikonservasi. Jika ingin mengurangi deforestasi, harus dimulai dari memberantas kemiskinan. Kaitan deforestasi dan kemiskinan sangat besar. Di negara berkembang, 2-5% GDP berasal dari sektor yang terkait dengan perkebunan. Miliaran orang berkembang di sektor ini.

Seperti apa keterkaitan deforestasi dan kemiskinan?

Ada data dari Badan Pangan Dunia (FAO) dan CIFOR yang menyebutkan 70-80% pelaku penggundulan hutan adalah orang miskin, yang menggunakan hasil hutan untuk kepentingan pribadi. Sementara dari perkebunan atau plantation hanya 7% saja. Secara total, lahan perkebunan hanya mencakup 20% dari seluruh lahan deforestasi.

Jika dihitung per tahun, sebuah perusahaan besar CPO, satu hektar lahannya bisa menghasilkan keuntungan hingga US$3.340 (Rp31,6 juta). Bahkan perkebunan jati di negara berkembang bisa menghasilkan hingga US$5 ribu (Rp47,3 juta). Belum lagi mereka membuka lapangan kerja yang bisa mensejahterakan banyak orang.

Bandingkan dengan orang miskin yang membuka lahan secara individual. Keuntungannya jauh lebih rendah. Misalnya untuk padi, per hektar per tahunnya, mereka hanya meraup keuntungan US$28 (Rp265 ribu). Lalu singkong atau ubi, hanya menghasilkan US$19 (Rp180 ribu). Itu hanya untuk si pelakunya saja, bukan untuk masyarakat luas.

Maksud anda, lebih baik jika pelaku deforestasi adalah perusahaan perkebunan?

Aktivitas yang besar akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Artinya, mengurangi pengangguran dan menghasilkan banyak imbal hasil. Ini kebalikan dari aktivitas individual yang sangat sedikit. Bukan berarti deforestasi harus dibiarkan. Kami disini lebih concern pada kemiskinan yang menjadi penyebabnya.

Artinya pemerintah harus segera mengkampanyekan UU anti-deforestasi atau illegal logging?

Menghentikan deforestasi, malah menyebabkan kemiskinan. Pemerintah memang harus menghentikan hal ini, tapi akan menjadi salah jika mengeluarkan kebijakan. Sebab hal ini malah akan meningkatkan kemiskinan. Cara untuk mengatasinya adalah menghadirkan akses ekonomi kepada masyarakat yang hidup di bawah kemiskinan.

Saya yakin sejumlah pemerintah punya program-programnya. Namun saya sadar mereka sering terbentur masalah biaya yang menjadi dilema besar. Ironis memang, jika melihat data-data selama ini. Bahwa area deforestasi biasanya berpusat di daerah yang penduduknya paling miskin dan paling kesulitan memperoleh akses ekonomi.

Menurut Anda, apa kesulitan mengatasi kemiskinan dalam kaitannya sebagai penyebab deforestasi?

Biasanya, pelaku adalah orang-orang yang tinggal di area sekitar dan punya ketergantungan sangat tinggi terhadap hutan. Mereka ini masyarakat pre-industrial, konservatif, dan terkadang tidak berpendidikan. Mengakomodasi kebutuhan mereka bukanlah hal yang mudah. Apalagi ada sejumlah LSM seperti Greenpeace yang malah mengkonservasi lifestyle masyarakat ini, karena mereka dianggap mandiri secara ekonomi.

Kesulitan dana juga membayangi, karena negara-negara maju menolak memberikan begitu saja dana untuk negara berkembang. Menurut saya ini semua merupakan konsep yang harus dibahas secara internasional. Mungkin akan terjadi dalam Konferensi Lingkungan Hidup PBB yang sedang berlangsung di Kopenhagen saat ini.

Tapi menurut saya, akan sulit tercapai kesepakatan dalam Kopenhagen. Terlalu banyak politisasi dalam pembahasan internasional selama ini. Ada tiga pemain besar, AS, Uni Eropa, dan China. Selama mereka belum sepakat, maka takkan terjadi banyak perubahan. Lagipula, masalah emisi gas rumah kaca negara berkembang juga terlalu dibesar-besarkan oleh mereka. [vin/ast]

http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2009/12/12/218342/atasi-deforestasi-dengan-berantas-kemiskinan/
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts