Sabtu, 12 Desember 2009 | 01:17 WIB
Inilah kabar gembira bagi publik, yang selama ini menyokong dan bersimpati kepada Prita Mulyasari. Rumah Sakit Omni Serpong akhirnya mencabut gugatan terhadap ibu dua anak ini. Kasus perdata Prita pun gugur dan ia tak perlu membayar ganti rugi. Tapi, agar ia benar-benar mendapat keadilan, pencabutan ini perlu dipertimbangkan pula oleh hakim yang akan memutuskan kasus pidananya.
Rasa keadilan masyarakat memang terkoyak-koyak ketika hakim Pengadilan Tinggi Banten memerintahkan Prita membayar ganti rugi Rp 204 juta kepada pihak Omni. Inilah yang kemudian mendorong publik mengumpulkan uang recehan guna membantunya. Hampir seluruh lapisan masyarakat di penjuru Tanah Air terlibat dalam gerakan yang dinamakan Koin Keadilan untuk Prita ini. Mulai kaum pemulung hingga pekerja kantoran menghimpun koin demi koin yang mereka miliki. Hasilnya: lebih dari Rp 150 juta sudah terkumpul.
Gerakan itu rupanya amat menekan Omni sehingga memutuskan mencabut gugatannya. Sebelumnya, rumah sakit ini menggugat sekaligus melaporkan Prita ke kepolisian hanya karena ia menulis keluhan lewat e-mail. Keluhan yang menggambarkan buruknya layanan yang ia terima ketika menjadi pasien di Omni ini kemudian tersebar luas lewat teman-temannya. Inilah yang menjadi dasar bagi Rumah Sakit Omni mengambil langkah hukum. Bahkan Prita sempat ditahan sekitar satu bulan dan baru dilepas setelah masyarakat mempersoalkannya.
Publik bersimpati kepada Prita karena ia merupakan korban arogansi Omni dan kesewenang-wenangan penegak hukum. Seharusnya Prita tak perlu diadili karena hanya mengeluhkan tak terpenuhinya haknya sebagai konsumen. Lagi pula, di negara demokratis ini, Prita bebas mengungkapkan pendapatnya, termasuk mengungkapkan perlakuan buruk yang pernah ia terima dari Omni.
Apa yang terjadi pada masyarakat itu menyiratkan bahwa kesadaran hukum mereka semakin tinggi. Dan lebih dari sekadar sadar hukum, publik kini berani melakukan tindakan nyata jika melihat hukum mulai diperkuda kekuasaan atau kekuatan uang. Protes mereka terdengar keras karena tersedia banyak media, termasuk Internet, untuk menyalurkannya.
Kebangkitan publik seperti itu tak boleh diremehkan penegak hukum. Begitu pula pihak-pihak yang selama ini merasa bisa menunggangi mereka untuk kepentingan sendiri. Publik kini akan selalu mengawasi, apakah penegak hukum sudah berjalan pada jalur yang benar. Orang-orang seperti Prita tak akan pernah dibiarkan sendirian lagi.
Sudah saatnya pula institusi penegak hukum bertumpu pada keadilan substantif dalam menjalankan tugasnya. Telah terlalu banyak korban berjatuhan, selain Prita Mulyasari, hanya karena penegak hukum berkukuh pada proses hukum formal. Apa yang terjadi pada dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, adalah contoh paling gamblang. Hal yang sama terjadi pada Nenek Minah, yang dituduh mencuri kakao tiga buah seharga Rp 2.000.
Keadilan substantif pulalah yang kini seharusnya menjadi pegangan para hakim di Pengadilan Negeri Tangerang dalam mengadili kasus pidana Prita Mulyasari. Ia layak bebas 100 persen. Publik tentu akan terus mengawal hingga hal itu benar-benar terwujud.
http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2009/12/12/krn.20091212.184609.id.html
Post a Comment