Saturday, 26 December 2009 00:22
MEDAN - Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Farid Wajdi, mengemukakan, kini UU ITE secara telak telah menunjukkan betapa keberadaannya bisa membuat persoalan baru yang mencemaskan di ranah hukum.
“Sekarang, setiap orang yang ingin menyatakan pendapatnya berpotensi untuk dijerat dengan UU itu,” katanya, tadi malam.
Masalahnya, katanya, secara empirik, Pasal 23 ayat (3) UU ITE itu seringkali menyimpang pada bagian penegakan hukumnya. Substansi pasal seringkali disalahgunakan karena memang multitafsir.
Penerapan pasal itu telah meresahkan masyarakat karena membelenggu kebebasan orang untuk berekspresi,’’ ujarnya.
Lebih celaka lagi, aparat penegak hukum atas dasar pendekatan legalistik formal dapat pula menahan para tersangka, seperti yang pernah dialami Prita Mulyasari. Bahkan, pasal ini seperti ‘spiral’ dan dapat memasung kebebasan berekspresi dalam mengeluarkan pendapat.
Dikemukakan, setelah Prita Mulyasari, kini Luna Maya menghebohkan jagad hukum, media massa dan pelaku dunia maya. Keduanya dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan, Pasal 310 dan 311 KUHP. Mereka juga dikenai Pasal 27 ayat (3) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara. Pasal 27 ayat (3) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 seperti palu mematikan bagi para praktisi dunia maya.
Betapa tidak, KUH Pidana, warisan kolonial Belanda menjerat pelaku pencemaran nama baik itu cuma 6 bulan. Tetapi hukum, produk era reformasi mengganjar sampai 6 tahun.
Secara yuridis, lanjutnya, pencemaran nama baik memang memerlukan norma untuk menjaga jangan sampai terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum).
Regulasi mengenai pencemaran nama baik lebih merupakan aturan kebijakan (legal policy) dan terjadinya penyalahgunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE lebih berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement), sehingga agak sulit untuk meniadakan norma itu.
Farid Wajdi, tidak menampik kalau UU ITE diperlukan untuk melindungi masyarakat. Aturan itu diperlukan untuk melindungi hak masyarakat dari perbuatan buruk seperti fitnah dan penghinaan melalui internet.
‘’Secara filosofis, UU ITE didesain untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan melindungi hak warga negara. Namun, kejadian Prita dan Luna Maya adalah contoh buruk penegakan UU ITE itu,’’ ucapnya.
Atas dasar itu, revisi UU ITE penting agar isi pasal tidak lagi dapat diterjemahkan secara bebas. Dengan begitu pasal itu tidak dapat menjerat orang yang memang tidak memiliki maksud buruk.
Apalagi para penegak hukum di Indonesia lebih banyak melakukan pendekatan legalistik formal. Seringkali rasa keadilan diabaikan, demi menegakkan bunyi teks undang-undang.
Lebih tragis lagi, awalnya UU itu hanya ditujukan untuk mengatur kegiatan bisnis melalui media elektronik. Namun, pelaksanaannya justru digunakan untuk menjerat orang-orang yang menyampaikan kekecewaan melalui blog, facebook, twiter, atau e-mail.
Menurutnya, jika revisi sulit dilakukan, maka para penegak hukum dapat melakukan dekriminalisasi pasal pencemaran nama baik itu. Demi keadilan hukum, pasal dimaksud tetap dibiarkan hidup, cuma dibuat seperti mati suri alias diabaikan. Persis seperti Pasal 533 KUHP.
(dat06/waspada)
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=76765:lapk-keberadaan-uu-ite-buat-persoalan-baru&catid=14:medan&Itemid=27
Post a Comment