9 December 2009, 09:05
Demonstran yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli UN (AMPUN), menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRA, Banda Aceh, Selasa (8/12). Mereka mendukung sepenuhnya keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN). SERAMBI/M ANSHAR
BANDA ACEH - Ratusan siswa SMU dan guru yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Ujian Nasional (UN)-Aceh (AMPUN) berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa (8/12). Para siswa dan guru itu meminta pemerintah mendukung keputusan Mahkamah Agung (MA) agar pelaksanaan UN dihentikan di Indonesia.
Massa mulai bergerak ke gedung DPRA sekitar pukul 13.30 WIB. Mereka membawa spanduk dan selebaran berisi penolakan terhadap UN sambil menerikkan yel yel ‘Tolak UN’. Sebagian besar massa merupakan para pelajar SMU dan beberapa perwakilan dari siswa SMP dan sekolah dasar. Massa awalnya melakukan orasi di pinggir jalan depan gedung DPRA. Aksi kemudian berlanjut di halaman gedung DPRA. Dalam orasinya, mereka memandang, keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan UN merupakan pelanggaran terhadap keputusan MA dan bagian dari upaya pembunuhan karakter siswa dan guru.
Seperti diketahui, MA telah mengeluarkan keputusan yang memerintahkan kepada pemerintah untuk terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta akses informasi yang lengkap ke seluruh daerah, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional. Keputusan MA itu dikeluarkan untuk memenangkan gugatan para guru dan aktivis pendidikan terhadap Presiden RI dan Mendiknas terkait kebijakan UN. Seorang pengunjuk rasa, Oriza Keumala mengatakan, pelaksanaan UN adalah sebuah pemaksaan kehendak pemerintah kepada siswa tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. “UN tidak lebih bentuk pembohongan publik. UN yang seharusnya untuk melahirkan generasi masa depan bangsa, justru berpeluang menciptkan mafia pendidikan,” katanya.
Ketimpangan UN
Dalam pernyataan sikapnya, AMPUN yang mendapat dukung 21 organisasi mengungkapkan beberapa ketimpangan terkait pelaksanaan UN. Di antaranya, UN sebagai standar kelulusan belum layak diterapkan di Indonesia. Sebab, pemerintah belum mampu menyamaratakan sarana dan falisitas pembelajaran antara sekolah yang ada di perkotaan dan di pelosok desa. Sumber daya guru di perkotaan dan di peedesaan juga dinilai masih sangat rendah kecuali sekolah unggul (boarding school).
Sebagai gambaran, siswa di perkotaan setelah pulang sekolah dilanjutkan dengan belajar sore baik diselenggarakan oleh sekolah maupun kursus-kursus, sementara siswa di pedesaan setelah pulang sekolah mereka harus ke sawah, ke ladang atau ke laut membantu orang tua mencari nafkah. Saat aksi berlangsung pengunjuk rasa juga menyatakan sikap yang intinya meminta pemerintah Aceh mendukung keputusan MA. Aksi sempat memanas karena anggota DPRA Sulaiman Abda dan beberapa anggota lainnya yang menerima massa tidak bersedia menandatangani pernyataan sikap yang diajukan pendemo karena hal tersebut perlu dibicarakan lebih dulu dengan pimpinan dewan.
Sulaiman Abda menyatakan DPRA mendukung sepenuhnya tuntutan para pelajar dan guru. Komitmen DPRA tersebut akan dibicarakan selanjutnya kepada pemerintah Aceh dan hasilnya akan disampaikan kepada pemerintah pusat. Ketua Dewan Presidium Koalisi Guru Bersatu (KoBar-GB) Aceh, Sayuthi Aulia mengatakan, UN dituding telah melanggar hak anak dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas, karena menetapkan kelulusan hanya berdasarkan empat mata pelajaran dan hanya mengedepankan unsur kognitif dalam proses pendidikan. Dia juga menilai UN banyak merugikan siswa.(sar/sal)
http://www.serambinews.com/news/siswa-dan-guru-geruduk-gedung-dewan

Post a Comment