Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Impor dari China Melonjak Tajam

Selasa, 2 Februari 2010 | 03:01 WIB

Jakarta, Kompas - Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China memang baru efektif 1 Januari 2010, tetapi kenyataannya produk nonmigas China sudah membanjiri pasar Indonesia. Angka impor produk nonmigas dari China pada tahun 2009 mencapai 13,49 miliar dollar AS, melonjak tajam dibandingkan dengan impor pada tahun 2004 yang hanya 3,4 miliar dollar AS.

Lonjakan tajam impor produk nonmigas China ini tergambar dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang disampaikan Kepala BPS Rusman Heriawan di Jakarta, Senin (1/2). Rusman memaparkan hasil survei terkait ekspor dan impor Indonesia Desember 2009.

Data BPS memperlihatkan total impor produk nonmigas Indonesia selama tahun 2009 mencapai 77,867 miliar dollar AS. Dari angka impor produk nonmigas ini, impor produk nonmigas dari China mencapai 13,49 miliar dollar AS. Sementara total impor Indonesia pada tahun 2009 mencapai 96,855 miliar dollar AS.

Impor produk nonmigas dari China ini meningkat sekitar 300 persen dibanding pada 2004. Impor produk nonmigas dari China waktu itu mencapai 3,4 miliar dollar AS. Nilai ini tak sampai 10 persen dari total impor produk nonmigas Indonesia yang saat itu sebesar 54,126 miliar dollar AS. Total impor pada 2004 mencapai 69,713 miliar dollar AS.

Ekonom senior Indef, Fadhil Hasan, yang dihubungi, menilai, kondisi ini memperlihatkan produk nonmigas khususnya industri manufaktur Indonesia semakin tidak berdaya saing. Bahkan, kondisi ini sudah terjadi sebelum FTA ASEAN-China diberlakukan. Ini berarti belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk mendorong sektor nonmigas. Padahal, masalahnya sudah jelas, yakni lemahnya infrastruktur, baik jalan, listrik, maupun ketersediaan bahan baku energi.

”Selain itu, insentif pajak juga belum banyak dirasakan manfaatnya untuk mendongkrak daya saing manufaktur kita. Selain itu, suku bunga perbankan masih jauh lebih tinggi. Perbaikan itu harus dilakukan lebih cepat, kalau tidak Indonesia akan selalu tertinggal,” ujarnya.

Guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, menegaskan pentingnya peningkatan daya saing menghadapi produk China. Seluruh pemangku kepentingan hendaknya menjadikan peningkatan daya saing sebagai prioritas dan tidak hanya mengedepankan kepentingan politis.

Bustanul menyarankan kepada pemerintah agar dalam melakukan pembahasan ulang FTA dilakukan tiap poin bidang usaha di sektor yang sensitif. Masing- masing bidang usaha dilakukan kajian mendalam soal elastisitas penyerapan dan penghilangan tenaga kerja sebagai dampak pemberlakuan FTA.

”Kalau ada kajian soal elastisitas penyerapan dan penghilangan tenaga kerja, saya yakin China bisa memahaminya sehingga proses negosiasi bisa dilakukan dengan kepala dingin,” katanya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton Supit di Jakarta berpendapat pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur dan peningkatan ketersediaan energi listrik. Namun, yang lebih penting adalah memperbaiki sikap para pelaku di pemerintahan dan di legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta buruh dan pengusaha.

Ekspor menurun

Ekspor Indonesia pada 2009 mencapai 116,49 miliar dollar AS. Dari jumlah ini, ekspor nonmigas mencapai 97,472 miliar dollar AS. Ekspor nonmigas ke China mencapai 8,906 miliar dollar AS.

Ekspor Indonesia ini meningkat dibanding pada tahun 2004 sebesar 69,713 miliar dollar AS. Ekspor nonmigas mencapai 54,126 miliar dollar AS, dan ekspor produk nonmigas ke China sebesar 3,145 miliar dollar AS.

Rusman menjelaskan, ekspor manufaktur sepanjang tahun 2009 menurun 16,93 persen. Namun, pertumbuhan produksi industri pengolahan besar dan sedang naik 1,33 persen dibanding pada 2008. ”Ini artinya, industri pengolahan besar dan sedang dipaksa menjual barang di dalam negeri,” ungkap Rusman.

Pelaku usaha di industri manufaktur besar dan sedang dipaksa menjual produk-produknya di dalam negeri karena permintaan luar negeri belum pulih. Di saat yang sama, produksi mereka justru meningkat sehingga ada stok barang yang tidak diekspor, tetapi dipaksa untuk dijual di pasar domestik.

Oktober 2009, ekspor bulanan Indonesia mulai tumbuh positif setelah didera krisis keuangan dan ekonomi sejak akhir 2008. Namun, pertumbuhan ekspor ini tak ditopang industri manufaktur, melainkan oleh sektor berbasis sumber daya alam, yakni minyak kelapa sawit mentah (CPO), batu bara, dan tembaga. Ekspor ketiga komoditas ini mendorong ekspor nonmigas, Desember 2009, sebesar 10,83 miliar dollar AS atau naik 28,3 persen dibanding November 2009.

”Ekspor Desember 2009 itu terbesar sepanjang sejarah karena ekspor bulanan tertinggi pada Mei 2008, 12,9 miliar dollar AS. Itu terlampaui oleh ekspor Desember 2009 yang mencapai 13,33 miliar dollar AS,” kata Rusman.

Data BPS juga melaporkan, neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2009 surplus 19,63 miliar dollar AS. Itu terjadi karena ekspor kumulatif (Januari-Desember 2009) mencapai 116,49 miliar dollar AS, sedangkan nilai impornya 96,86 miliar dollar AS. Dengan demikian, nilai ekspor lebih tinggi 19,63 miliar dollar AS dibandingkan dengan nilai impornya, atau terjadi surplus.

Salah satu faktor pendorong surplus neraca perdagangan adalah adanya surplus neraca perdagangan pada Desember 2009 yang mencapai 3 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan pada akhir Desember 2008 yang mencapai 7,82 miliar dollar AS, maka surplus neraca perdagangan pada 2009 meningkat tiga kali lipat.

”Ini menjadi sinyal awal bahwa sebenarnya perekonomian dunia mulai pulih,” ujar Rusman.(oin/HAN/WIE/EKI/OSA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/02/03012049/impor.dari.china.melonjak.tajam
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts