Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Potret Buram Perlindungan Konsumen

Labels:
Periode 2007 tampaknya menjadi potret buram bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar konsumen. Soalnya, pelanggaran hak-hak konsumen justru didominasi oleh persoalan domestik rumah tangga. Fenomena lonjakan harga dan bahkan minimnya pasokan mengingatkan suatu konfigurasi sosial pada era 1965-an. Semestinya penyakit "primitif" ini haram hukumnya ketika napas kemerdekaan telah direguk oleh mayoritas warga bangsa ini, 63 tahun silam. Apa sajakah bentuk konfigurasi sosial oleh adanya kegagalan negara ini?
Pertama, akses terhadap bahan pangan; khususnya beras, telur, minyak goreng, dan susu. Berbeda dengan rezim Orde Baru, yang "berhasil" melakukan stabilisasi bahan pangan, rezim produk reformasi justru terseok-seok mengelola kebutuhan paling dasar ini. Tidak hanya beras yang harganya melambung; minyak goreng, susu, dan telur pun tidak malu-malu menggerus kantong konsumen. Minyak goreng bermerek kini harganya di atas Rp 20 ribu per kilogram, demikian juga susu bubuk, melewati harga Rp 20 ribu per kg. Telur, yang semula hanya Rp 8.000 per kg, kini menjadi Rp 10.500 per kg.
Ironisnya, pemerintah nyaris tak punya solusi konkret selain menyalahkan faktor internasional, khususnya untuk susu bubuk dan minyak goreng. Melambungnya harga CPO (crude palm oil) di pasar internasional, dan kekeringan di Australia, menjadi tersangka atas naiknya kedua komoditas tersebut. Kacaunya harga susu makin membuat masyarakat Indonesia tertinggal oleh negara lain dalam kekerapan minum susu, yang masih sangat rendah, hanya 7 liter per kapita per tahun. Kalah oleh Vietnam, yang mencapai 9 liter per kapita per tahun. Apalagi negara jiran lain, seperti Malaysia dan Thailand 25 liter, Cina 13 liter, India 44 liter, dan negara-negara Barat 150 liter. Wah, pantas kalau peringkat indeks pembangunan sumber daya manusia di Indonesia (human development index) terus terpuruk!
Kedua, akses terhadap energi, khususnya minyak tanah dan premium, yang juga memusingkan masyarakat konsumen. Mereka, yang notabene the poor society, harus antre berjam-jam untuk mengais beberapa liter minyak tanah. Ini terjadi karena pemerintah terlalu sembrono dalam melakukan konversi minyak tanah. Akibatnya, pendistribusian kompor dan tabung gas, selain tidak tepat sasaran, kualitasnya tidak standar. Kompornya rusak sebelum dipakai dan tabungnya meleduk saat digunakan. Kelangkaan premium, yang ditandai dengan antrean panjang, juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta, the have society pun rela antre hanya untuk mengendus beberapa liter premium. Mereka tersentak oleh wacana pemerintah yang akan mem-pertamax-kan kendaraannya. Sayangnya, nyali pemerintah hanya berwacana. Isu "pertamaxisasi" berangsur menyurut saat harga minyak mentah dunia turun. Pemerintah mengidap lumpuh layuh akibat tekanan industri otomotif yang kian keras dan jumawa.
Ketiga, akses terhadap kesehatan. Persoalan ini tidak kalah sengitnya. Masih terlalu banyak orang mati sia-sia hanya karena tidak mempunyai uang untuk mengobati dirinya. Pergi ke rumah sakit juga ditolak, kendati mereka telah mengantongi kartu Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin). Liputan berita di salah satu stasiun televisi mengilustrasikan betapa bayi di bawah lima tahun (balita) di Kabupaten Bekasi harus meregang nyawa hanya karena menjadi "bola pingpong" pihak rumah sakit yang notabene milik pemerintah (salah satunya oleh Rumah Sakit Polri Kramatjati). Mereka ditolak check in karena miskin. Bagaimana mungkin kisah ini bisa terjadi di negeri yang mengaku mempunyai tingkat religiositas tinggi dan memanggul falsafah hidup Pancasilais?
Keempat, aspek keselamatan transportasi. Pada 2007 ini keselamatan transportasi jatuh ke titik nadir. Sektor transportasi darat, laut, dan udara menjadi mesin pembunuh paling efektif setelah kanker dan jantung koroner. Belum hilang dalam ingatan, ratusan nyawa penumpang Adam Air musnah hingga kini. Juga hilangnya lebih dari 400 nyawa penumpang akibat tenggelamnya kapal Senopati Nusantara. Apalagi sektor darat yang terbukti haus darah, 82 nyawa melayang per hari atau 30 ribu dalam setahun! Keselamatan, yang seharusnya mendapatkan prioritas pertama, faktanya hanya menjadi prioritas ketiga setelah aspek aksesibilitas dan mobilitas. Karena itu, larangan terbang bagi air line Indonesia oleh Uni Eropa secara empiris tidak bisa disalahkan. Bagaimana mungkin Uni Eropa mencabut larangan itu kalau pesawat yang sedang terbang tiba-tiba salah satu komponen sayapnya rontok karena teknisinya lupa memasang sekrup?
Kelima, kebijakan harga (pricing policy). Dalam hal pricing policy, pemerintah juga menabrak pakem. Kenaikan tarif jalan tol adalah contoh telanjang betapa pemerintah secara sempurna mengebiri hak-hak pengguna jalan tol. Pemerintah hanya memperhatikan kepentingan pengelola dan investor jalan tol, karena hanya menjadikan aspek inflasi sebagai basis kenaikan tarif. Aspek perlindungan konsumen, terkait dengan level of services jalan tol, dicampakkan ke tong sampah. Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto pun bergeming kendati digertak dengan gugatan class action oleh sekelompok pengguna jalan tol.
Dalam konteks Jakarta, Gubernur Fauzi Bowo (Foke) juga melakukan hal yang sama. Selain menaikkan tarif PDAM secara otomatis per enam bulan, Foke akan mengerek tarif busway Trans Jakarta menjadi Rp 5.000 per 1 Januari 2008. Sebagaimana tarif jalan tol, ketika Foke menaikkan tarif busway juga tidak menjadikan aspek kemampuan membayar (ability to pay) maupun kemauan membayar (willingness to pay) sebagai bahan pertimbangan. Padahal hasil survei YLKI terhadap 1.065 pengguna busway pada awal Desember 2007 membuktikan kemampuan membayar pengguna busway tidak cukup memadai, yaitu hanya Rp 3.800. Artinya, toleransi kenaikan tarif hanya pada kisaran 8,6 persen.

UUPK dan BPKN?
Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dulu begitu dielu-elukan, ternyata belum cukup ampuh melindungi konsumen. Sekalipun lewat "perut" UUPK ini telah lahir sebuah lembaga yang bernama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). BPKN, yang proses seleksinya melalui fit and proper test Dewan Perwakilan Rakyat dan dikukuhkan Presiden, kini hanya menjadi menara gading belaka. Idealnya, dengan kapasitas yang dimiliki, BPKN bisa menjadi garda depan dalam pembahasan pricing policy komoditas publik. Relevan dengan itu, keberadaan Komite Keselamatan Transportasi (KNKT) yang masih nyangkut di ketiak Menteri Perhubungan, dan/atau Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTK-J); juga tidak bisa berbuat banyak untuk menjadikan keselamatan transportasi sebagai panglima.
Terjadinya berbagai permasalahan yang secara fundamental mereduksi hak-hak konsumen itu seharusnya direspons pemerintah dengan radikalisasi kebijakan yang konkret dan komprehensif. Kelangkaan dan melonjaknya harga bahan pangan, misalnya, tidak akan terjadi seandainya pemerintah mempunyai Price Control Act laiknya Malaysia. Via undang-undang ini Malaysia memasukkan 32 komoditas pokok, termasuk minyak goreng, telur, dan susu. Ketika terjadi lonjakan harga atau gangguan pasokan pada komoditas tersebut, pemerintah negeri jiran itu langsung melakukan intervensi pasar. Bukan seperti pemerintah Indonesia, yang hanya mampu meminta "belas kasihan" produsen atau malah menyerahkannya ke mekanisme pasar. Pasar tidak akan pernah mempunyai rasa belas kasihan, apalagi nasionalisme. Pemerintah terbukti gagal dalam memberikan perlindungan kepada konsumen dan warga negaranya.

By: Tulus Abadi (Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts