EKONOMI biaya tinggi alias ekonomi rente yang marak sejak pemerintahan Orde Baru hingga kini tak kunjung pupus. Sungguh sulit memilahnya dengan praktik korupsi. Ujung-ujungnya, pihak yang paling dirugikan adalah konsumen, yang harus menanggung beban harga barang-barang dan jasa menjadi jauh lebih mahal daripada semestinya.
Di sektor transportasi publik, misalnya, rata-rata rumah tangga di Jakarta harus mengeluarkan biaya transportasi lebih besar dari seharusnya, mencapai 14-20 persen total pengeluaran rumah tangga. Ini gara-gara operator bus-bus angkutan umum harus menanggung biaya korupsi, seperti yang terjadi dalam kir kendaraan. Anda boleh percaya boleh tidak, biaya pengurusan kir kendaraan di Jakarta membengkak sampai empat kali biaya resmi! Ini semua pada akhirnya menjadi beban konsumen.
Korupsi dan kolusi yang membebani konsumen jangan dikira hanya monopoli pemerintah, parlemen, dan lembaga yudikatif. Tak sedikit juga yang dilakukan oleh pihak swasta atau kalangan profesi. Contoh yang tak kelewat kasatmata adalah kolusi antara pabrik obat dan sebagian dokter.
Sudah bukan rahasia lagi kalau para dokter di negeri ini amat dimanja oleh industri farmasi yang obat-obatnya diresepkan oleh dokter. Tak jarang ada dokter yang meminta "imbalan" dari industri atau pedagang farmasi. Ini pun akhirnya dibebankan sebagai overhead perusahaan yang harus ditanggung konsumen.
Selain soal korupsi, soal lain yang kini makin mengemuka dan menjadi beban masyarakat sebagai konsumen adalah soal utang. Utang yang ditanggung oleh PDAM, PLN, dan Telkom-yang prosesnya tak pernah melibatkan partisipasi publik-pada gilirannya harus ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk kenaikan tarif. Akibat bunga pinjaman yang terus berbunga, PDAM DKI Jakarta (yang dikelola bersama perusahaan swasta asing) terlilit utang Rp 2 triliun, dan tarif air minum di Jakarta kini menjadi termahal di dunia.
Contoh lainnya, PDAM di Kota Sukabumi yang semula memperoleh pokok pinjaman sebesar Rp 14 miliar (sumbernya dari pinjaman pemerintah kepada ADB/Asian Development Bank) akibat skema utang dengan bunga-berbunga, maka pokok pinjaman plus bunga yang harus dibayar sudah menjadi Rp 30 miliar. Selamanya utang ini tak akan pernah bisa lunas jika PDAM Sukabumi setiap tahun cuma bisa menyisihkan sisa hasil usaha sebesar Rp 1 miliar untuk membayar cicilan utangnya.
DENGAN warisan budaya korupsi dan beban utang dari pemerintahan Orde Baru, siapa pun yang menjalankan roda pemerintahan saat ini tak akan bisa berbuat lain kecuali membebani rakyat untuk menanggung tarif kebutuhan pokok, seperti harga langganan air bersih, listrik, dan telepon, yang terus naik. Alternatif lainnya adalah penegasan pimpinan negara bahwa Indonesia sudah tak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada kreditor jika tak mau dibilang mengemplang utang. Hak-hak ekonomi, kesejahteraan sosial dan budaya masyarakat Indonesia makin muskil terpenuhi dengan baik dengan sistem perekonomian global dan nasional seperti saat ini.
Di sinilah reposisi peran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Bukan lagi hanya sekadar mengurus komplain masyarakat soal produk-produk kedaluwarsa atau hal-hal tetek bengek dan sepele lainnya, YLKI sudah harus menemukan fokus dan paradigma baru dalam beradvokasi. Lembaga ini seyogianya aktif terlibat dalam proses reformasi kebijakan publik, privatisasi, hingga penyusunan anggaran dan belanja negara.
Selain itu, lahan pertempuran YLKI kini bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, ikut dalam jejaring pengawasan isu WTO dan perdagangan global, hak cipta atau TRIPs, aneka protokol dan konvensi internasional, mulai dari soal keanekaragaman hayati hingga produk pertanian transgenik. Karena itu, menjadi pengurus YLKI dewasa ini sungguh menuntut profesionalitas.
Yang bukan alang kepalang sulitnya justru adalah mengajak masyarakat untuk melawan gaya hidup konsumtif, sementara arus yang kuat justru iming- iming untuk terus berbelanja dan gaya hidup imitatif. Di sini gerakan konsumen seolah harus berhadapan dengan sebagian stakeholder-nya sendiri yang lebih memilih gaya hidup hedonis postmodern.
EKSISTENSI YLKI pada usianya yang ke-30 ini memang ironis dan dilematis. Sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen yang begitu gigih mendesakkan RUU Perlindungan Konsumen selama belasan tahun hingga akhirnya menjadi undang-undang (UU) pada tahun 1999, YLKI kini justru terancam oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2001 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU tadi. Sebagai lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, kini tugasnya harus diatur oleh pemerintah, harus didaftar dan jika tidak lapor, YLKI dapat dicoret.
Jika sebelum lahirnya UU Perlindungan Konsumen hanya ada beberapa lembaga konsumen di Indonesia, kini menjamurlah organisasi yang menamakan dirinya sebagai "pejuang" perlindungan konsumen sampai hampir 100 buah, yang tak lain hanya bakal memanfaatkan "kue" penyelesaian sengketa konsumen.
Masalah perlindungan hak-hak konsumen yang begitu kompleks terasa sudah tidak memadai lagi jika hanya ditangani oleh sebuah direktorat di Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag). Soal praktik pemasaran multijenjang (multilevel marketing) dengan pola-pola piramida yang sudah amat banyak mengecoh masyarakat yang terbuai mimpi kepingin cepat kaya, lebih tepat diatur oleh Departemen Keuangan. Begitu pula soal energi dan pemadaman bergilir listrik Jawa-Bali, saat ini tak mungkin bisa diatur oleh Depperindag.
Sebaliknya, YLKI perlu terus memfasilitasi kelompok-kelompok konsumen aneka komoditas sehingga mereka dapat membela kepentingan mereka sendiri. Beberapa produk dan jasa mulai dari telepon, listrik, hingga gas elpiji sudah digarap oleh YLKI, dan terbukti keberadaannya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dibanding pada masa Orba, ruang publik bagi YLKI sekarang sudah jauh lebih besar. Hanya tinggal apakah peluang itu dimanfaatkan untuk memperkokoh jejaring dan kekuatan kelompok-kelompok masyarakat madani, atau YLKI justru terseret arus fraksionalisasi.
YLKI juga tak hanya cukup mengkritisi kebijakan pemerintah, tetapi perlu ikut aktif merebut reformasi kebijakan publik dan mendorong terciptanya good governance di lembaga- lembaga negara maupun berbagai perusahaan yang kegiatannya berdampak bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Khusus untuk kasus kontroversi penanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan yang tidak transparan, YLKI sudah menunjukkan perannya berjejaring dengan beberapa LSM lain untuk melakukan proses litigasi. Mereka kalah hingga tingkat pengadilan tinggi, namun waktu jua yang akan membuktikan apakah gugatan YLKI dan beberapa LSM lingkungan sahih atau mengada-ada.
Arus besar di tingkat global telah menunjukkan betapa industri bioteknologi pertanian Amerika Serikat yang pemasarannya amat didukung oleh pemerintahnya (khususnya Partai Republik) justru dikucilkan oleh Eropa, Jepang, bahkan RRC. Ketamakan industri pertanian transgenik AS yang terburu-buru memasarkan produknya malah menimbulkan citra negatif terhadap bioteknologi yang sebenarnya memiliki sisi-sisi positif untuk kemanusiaan.
Menjadi kian jelas bahwa ranah perjuangan YLKI bukan hanya terbatas pada perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, tetapi juga hak-hak sipil dan politik masyarakat. Dengan demikian, tak perlu lagi ada kegamangan dan kebimbangan dengan komitmen untuk melakukan suatu gerakan konsumen yang disegani, bukan lagi "gerakan" asal-asalan.
By: Irwan Julianto
Source: Kompas, 10 Juni 2003
Di sektor transportasi publik, misalnya, rata-rata rumah tangga di Jakarta harus mengeluarkan biaya transportasi lebih besar dari seharusnya, mencapai 14-20 persen total pengeluaran rumah tangga. Ini gara-gara operator bus-bus angkutan umum harus menanggung biaya korupsi, seperti yang terjadi dalam kir kendaraan. Anda boleh percaya boleh tidak, biaya pengurusan kir kendaraan di Jakarta membengkak sampai empat kali biaya resmi! Ini semua pada akhirnya menjadi beban konsumen.
Korupsi dan kolusi yang membebani konsumen jangan dikira hanya monopoli pemerintah, parlemen, dan lembaga yudikatif. Tak sedikit juga yang dilakukan oleh pihak swasta atau kalangan profesi. Contoh yang tak kelewat kasatmata adalah kolusi antara pabrik obat dan sebagian dokter.
Sudah bukan rahasia lagi kalau para dokter di negeri ini amat dimanja oleh industri farmasi yang obat-obatnya diresepkan oleh dokter. Tak jarang ada dokter yang meminta "imbalan" dari industri atau pedagang farmasi. Ini pun akhirnya dibebankan sebagai overhead perusahaan yang harus ditanggung konsumen.
Selain soal korupsi, soal lain yang kini makin mengemuka dan menjadi beban masyarakat sebagai konsumen adalah soal utang. Utang yang ditanggung oleh PDAM, PLN, dan Telkom-yang prosesnya tak pernah melibatkan partisipasi publik-pada gilirannya harus ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk kenaikan tarif. Akibat bunga pinjaman yang terus berbunga, PDAM DKI Jakarta (yang dikelola bersama perusahaan swasta asing) terlilit utang Rp 2 triliun, dan tarif air minum di Jakarta kini menjadi termahal di dunia.
Contoh lainnya, PDAM di Kota Sukabumi yang semula memperoleh pokok pinjaman sebesar Rp 14 miliar (sumbernya dari pinjaman pemerintah kepada ADB/Asian Development Bank) akibat skema utang dengan bunga-berbunga, maka pokok pinjaman plus bunga yang harus dibayar sudah menjadi Rp 30 miliar. Selamanya utang ini tak akan pernah bisa lunas jika PDAM Sukabumi setiap tahun cuma bisa menyisihkan sisa hasil usaha sebesar Rp 1 miliar untuk membayar cicilan utangnya.
DENGAN warisan budaya korupsi dan beban utang dari pemerintahan Orde Baru, siapa pun yang menjalankan roda pemerintahan saat ini tak akan bisa berbuat lain kecuali membebani rakyat untuk menanggung tarif kebutuhan pokok, seperti harga langganan air bersih, listrik, dan telepon, yang terus naik. Alternatif lainnya adalah penegasan pimpinan negara bahwa Indonesia sudah tak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada kreditor jika tak mau dibilang mengemplang utang. Hak-hak ekonomi, kesejahteraan sosial dan budaya masyarakat Indonesia makin muskil terpenuhi dengan baik dengan sistem perekonomian global dan nasional seperti saat ini.
Di sinilah reposisi peran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Bukan lagi hanya sekadar mengurus komplain masyarakat soal produk-produk kedaluwarsa atau hal-hal tetek bengek dan sepele lainnya, YLKI sudah harus menemukan fokus dan paradigma baru dalam beradvokasi. Lembaga ini seyogianya aktif terlibat dalam proses reformasi kebijakan publik, privatisasi, hingga penyusunan anggaran dan belanja negara.
Selain itu, lahan pertempuran YLKI kini bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, ikut dalam jejaring pengawasan isu WTO dan perdagangan global, hak cipta atau TRIPs, aneka protokol dan konvensi internasional, mulai dari soal keanekaragaman hayati hingga produk pertanian transgenik. Karena itu, menjadi pengurus YLKI dewasa ini sungguh menuntut profesionalitas.
Yang bukan alang kepalang sulitnya justru adalah mengajak masyarakat untuk melawan gaya hidup konsumtif, sementara arus yang kuat justru iming- iming untuk terus berbelanja dan gaya hidup imitatif. Di sini gerakan konsumen seolah harus berhadapan dengan sebagian stakeholder-nya sendiri yang lebih memilih gaya hidup hedonis postmodern.
EKSISTENSI YLKI pada usianya yang ke-30 ini memang ironis dan dilematis. Sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen yang begitu gigih mendesakkan RUU Perlindungan Konsumen selama belasan tahun hingga akhirnya menjadi undang-undang (UU) pada tahun 1999, YLKI kini justru terancam oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2001 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU tadi. Sebagai lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, kini tugasnya harus diatur oleh pemerintah, harus didaftar dan jika tidak lapor, YLKI dapat dicoret.
Jika sebelum lahirnya UU Perlindungan Konsumen hanya ada beberapa lembaga konsumen di Indonesia, kini menjamurlah organisasi yang menamakan dirinya sebagai "pejuang" perlindungan konsumen sampai hampir 100 buah, yang tak lain hanya bakal memanfaatkan "kue" penyelesaian sengketa konsumen.
Masalah perlindungan hak-hak konsumen yang begitu kompleks terasa sudah tidak memadai lagi jika hanya ditangani oleh sebuah direktorat di Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag). Soal praktik pemasaran multijenjang (multilevel marketing) dengan pola-pola piramida yang sudah amat banyak mengecoh masyarakat yang terbuai mimpi kepingin cepat kaya, lebih tepat diatur oleh Departemen Keuangan. Begitu pula soal energi dan pemadaman bergilir listrik Jawa-Bali, saat ini tak mungkin bisa diatur oleh Depperindag.
Sebaliknya, YLKI perlu terus memfasilitasi kelompok-kelompok konsumen aneka komoditas sehingga mereka dapat membela kepentingan mereka sendiri. Beberapa produk dan jasa mulai dari telepon, listrik, hingga gas elpiji sudah digarap oleh YLKI, dan terbukti keberadaannya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dibanding pada masa Orba, ruang publik bagi YLKI sekarang sudah jauh lebih besar. Hanya tinggal apakah peluang itu dimanfaatkan untuk memperkokoh jejaring dan kekuatan kelompok-kelompok masyarakat madani, atau YLKI justru terseret arus fraksionalisasi.
YLKI juga tak hanya cukup mengkritisi kebijakan pemerintah, tetapi perlu ikut aktif merebut reformasi kebijakan publik dan mendorong terciptanya good governance di lembaga- lembaga negara maupun berbagai perusahaan yang kegiatannya berdampak bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Khusus untuk kasus kontroversi penanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan yang tidak transparan, YLKI sudah menunjukkan perannya berjejaring dengan beberapa LSM lain untuk melakukan proses litigasi. Mereka kalah hingga tingkat pengadilan tinggi, namun waktu jua yang akan membuktikan apakah gugatan YLKI dan beberapa LSM lingkungan sahih atau mengada-ada.
Arus besar di tingkat global telah menunjukkan betapa industri bioteknologi pertanian Amerika Serikat yang pemasarannya amat didukung oleh pemerintahnya (khususnya Partai Republik) justru dikucilkan oleh Eropa, Jepang, bahkan RRC. Ketamakan industri pertanian transgenik AS yang terburu-buru memasarkan produknya malah menimbulkan citra negatif terhadap bioteknologi yang sebenarnya memiliki sisi-sisi positif untuk kemanusiaan.
Menjadi kian jelas bahwa ranah perjuangan YLKI bukan hanya terbatas pada perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, tetapi juga hak-hak sipil dan politik masyarakat. Dengan demikian, tak perlu lagi ada kegamangan dan kebimbangan dengan komitmen untuk melakukan suatu gerakan konsumen yang disegani, bukan lagi "gerakan" asal-asalan.
By: Irwan Julianto
Source: Kompas, 10 Juni 2003
Post a Comment