Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Melibatkan Perempuan untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan

PERSOALAN lingkungan sering kali luput dari perhatian sampai sebuah petaka datang. Entah dalam bentuk banjir seperti yang menimpa Jakarta setiap kali tiba musim hujan, atau tanah longsor seperti yang terjadi di Pulau Nias tahun 2001 yang merenggut setidaknya 55 nyawa, di Pacet, Jawa Timur, dan Bohorok di Langkat, Sumatera Utara tahun 2003.

EKSPLOITASI alam menjadi persoalan mana kala pembangunan dengan mengatasnamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat mengubah alam menjadi kawasan hutan beton tanpa memerhatikan tata lingkungan. Tekanan penduduk dan kemiskinan juga menjadi penyebab eksploitasi lingkungan yang menyebabkan rusaknya hampir semua daerah aliran sungai di Jawa.
Bukan hanya kemiskinan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Yang lebih menakutkan adalah keserakahan yang terjadi di hutan-hutan alam di Kalimantan dan Sumatera. Penebangan liar bukan dilakukan semata-mata oleh penduduk yang lapar, tetapi para penebang liar terorganisir. Ironisnya, pemerintah tak mampu menghentikan penebangan liar tersebut meskipun mengatakan mengetahui pelaku penebangan liar tersebut.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah juga menimbulkan keprihatinan ketika misalnya pemerintah mengizinkan membuka pertambangan di kawasan hutan lindung, dengan alasan menarik investasi asing sementara melupakan risiko yang harus ditanggung generasi penerus bangsa ini karena rusaknya hutan lindung.
Rasa ngeri terhadap kerusakan lingkungan mungkin tidak se dahsyat rasa ngeri terhadap akibat ledakan bom di Kuta, Bali, di depan hotel JW Marriott Jakarta, atau di depan Kedutaan Australia di kawasan Kuningan, Jakarta, karena dampaknya terasa setelah membandingkan dengan keadaan lalu dalam selang waktu agak panjang.
Misalnya kekhawatiran terhadap efek gas rumah kaca akibat buangan gas karbon dan variasinya, serta rusaknya hutan tropis sebagai paru-paru dunia tidak akan disadari kecuali bila perubahan cuaca menyebabkan munculnya hujan badai di kawasan yang sebelumnya tidak pernah terkena badai, banjir dalam jumlah di luar kebiasaan, suhu udara yang semakin terasa panas, dan tenggelamnya daerah-daerah pantai karena air laut naik akibat melelehnya es di kutub-kutub Bumi.
Upaya mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan bukannya tidak dilakukan pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat. Masalahnya, seberapa partisipatif upaya itu melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk perempuan di dalamnya.
Dalam diskusi yang diprakarsai CIDA di Jakarta tanggal 11-13 Oktober lalu, hadir tokoh-tokoh masyarakat adat dari berbagai wilayah Indonesia, selain para pendamping dari berbagai lembaga nonpemerintah dan wakil pemerintah. Salah satu diskusi itu membahas pentingnya perspektif jender di dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pengalaman Rukmini, Ketua Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro dari Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, yang merupakan enkave hutan lindung Lore Lindu, serta Ika Francisca dari proyek Forest Resources Management for Carbon Sequestration (Formacs), Care International Indonesia yang mendampingi masyarakat adat Agabag di Kecamatan Sebuku dan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, memperlihatkan bahwa melibatkan perempuan di dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA) merupakan keharusan bila ingin berhasil membantu masyarakat dalam PSDA yang berkelanjutan.
PARTISIPASI masyarakat menjadi kata kunci untuk pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Yanti Muchtar dari Lingkaran Pendidikan Alternatif Kapal Perempuan yang menyampaikan pendapatnya pada diskusi mengenai perspektif jender dalam PSDA, menyebutkan antara lain masyarakat yang diajak berpartisipasi dalam sebuah kegiatan akan mendorong tumbuhnya rasa memiliki, akan ikut menyumbang untuk keberlangsungan inisiatif, menjadi kunci desentralisasi, mewujudkan proses pembelajaran bersama, dan menjadi pintu bagi penguatan.
Kunci untuk sebuah partisipasi yang berhasil adalah adanya akses dan kontrol dari tiap individu terhadap pengambilan keputusan di dalam masyarakat bersangkutan atau di dalam rumah tangga. Pengalaman Ika Francisca maupun Rukmini memperlihatkan, pada awalnya perempuan tidak memiliki akses dan kontrol sampai kemudian mereka mencoba mengubah keadaan tersebut.
Tidak adanya akses dan kontrol itu bisa karena berbagai alasan. Bisa karena campur tangan negara dalam mendefinisikan peran perempuan dan laki-laki seperti pengalaman yang diungkapkan Rukmini dari Desa Toro, atau memang masyarakat bersangkutan sangat kental memegang paham patriarkhi yang mengutamakan nilai-nilai laki-laki, seperti yang dialami Ika ketika pertama kali berkenalan dengan masyarakat Agabag di Nunukan.
Di dalam adat masyarakat Toro perempuan sebenarnya memiliki akses dan kontrol yang besar di dalam kehidupan adat maupun di dalam kehidupan pribadi di rumah tangga. Tetapi, sistem pemerintahan pada masa Orde Baru yang menyeragamkan semua bentuk pemerintahan di daerah hingga di tingkat desa menyebabkan perempuan kehilangan akses dan kontrol tersebut.
Rukmini menuturkan, organisasi perempuan yang boleh ada di desa hanyalah Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang menempatkan perempuan hanya pada peran-peran domestik. "Di dalam kegiatan PKK kami (perempuan) hanya disuruh sediakan konsumsi, tetapi tidak diajak ambil keputusan. PKK juga tidak dihargai di masyarakat (Toro)," keluh Rukmini.
Keadaan itu mulai berubah dengan bantuan dari Care Indonesia yang bekerja bersama masyarakat di sekitar hutan lindung Lore Lindu. "Desa Toro itu berada di dalam enklave Lore Lindu sehingga memang sejumlah kegiatan yang berhubungan dengan PSDA kerap dilakukan di sana. Salah satunya adalah membangun perspektif jender pada masyarakat setempat," kata Sukmawati dari Care Sulawesi Tengah yang menjadi salah satu pendamping masyarakat Toro.
Dengan bantuan dampingan Care, para perempuan Toro diajak menggali kearifan budaya mereka. Ternyata menurut Rukmini yang ayahnya termasuk tetua di Toro, orang Toro sejak abad kedelapan sudah memiliki figur pemimpin perempuan yang fungsinya sama dengan dewan pimpinan kampung (totua Ngata toro) yang disebut sebagai ibu kampung (tina ngata).
Dalam setiap pertemuan, kehadiran seorang tina ngata merupakan keharusan. Bila dia tidak dilibatkan, keputusan yang diambil di dalam pertemuan bisa tidak diakui oleh masyarakat. Seorang tina ngata juga dibutuhkan untuk menyelesaikan segala bentuk konflik
"Mengubah keadaan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan," kata Rukmini. "Perjuangan kami untuk bisa dilibatkan (kembali) dalam pengambilan keputusan di masyarakat memerlukan perjuangan panjang."
Perjuangan itu dimulai sejak tahun 1997 dengan menggali sejarah masyarakat Toro yang juga tidak mudah dilakukan karena banyak tetua di Toro maupun di Kecamatan Kulawi yang mengetahui sejarah itu sudah meninggal. Rukmini dan teman-temannya mengusahakan berbagai pertemuan di desa.
Baru tiga tahun kemudian mereka berhasil mengadakan musyawarah besar perempuan dengan sejumlah rekomendasi penting, antara lain membentuk lembaga perempuan. Inilah yang kemudian melahirkan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT).
Perjuangan itu dilanjutkan dengan mengadakan seminar dan lokakarya Ngata yang menghadirkan semua pemangku kepentingan di dalam masyarakat Toro. Hasilnya, di dalam struktur adat hintuvu libu yang mengatur hubungan di antara sesama manusia, OPANT berada dalam sebuah tingkat yang sama dengan lembaga pemerintahan desa, lembaga adat, dan lembaga desa. OPANT juga memiliki pengurus di tingkat dusun, dan mereka memutuskan untuk menjadikan OPANT sebagai pengganti PKK karena dirasa lebih sesuai dengan kebutuhan perempuan Toro.
Dalam kegiatan sehari-hari, perempuan Toro memegang peran penting dalam PSDA. Penentuan waktu menebar benih serta penebaran benih tanaman pangan dilakukan perempuan Toro dengan melihat bulan di langit malam. Dalam membuka lahan baru perempuan harus mendampingi laki-laki untuk meminta izin kepada "penjaga" lahan untuk mencegah gagal panen karena banjir atau gangguan hama.
Membuat kerajinan seperti membuat kain dari kulit kayu pohon serta kerajinan dari pandan dan bambo adalah pekerjaan perempuan yang sangat tergantung dari alam, sehingga pengelolaan lingkungan yang lestari juga menjadi kepedulian perempuan.
PENGALAMAN Ika Francisca dengan masyarakat Agabag juga memperlihatkan bahwa melibatkan perempuan di dalam PSDA lebih menjamin keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Ika mengatakan, pengalaman berharga yang didapat adalah kegagalan dalam awal proyek ini untuk bidang pertanian adalah karena tidak melibatkan perempuan.
"Pembelajaran dari awal kegiatan ini adalah tidak dilakukan kajian siapa yang melakukan kegiatan pertanian yaitu perempuan. Akibatnya banyak bibit tanaman tidak ditanam, dibiarkan saja di samping rumah. Kata para bapak, menunggu petunjuk selanjutnya dari pendamping," tutur Ika.
Masyarakat Agabag masih menganut nilai-nilai patriarkhi yang cukup kuat. Misalnya, meskipun yang melakukan pertanian adalah perempuan, tetapi akses dan kontrol untuk mengikuti kegiatan pelatihan pertanian tidak dimiliki perempuan. Perempuan harus meminta izin kepada suami untuk bisa mengikuti pelatihan tersebut.
Perempuan juga sangat rendah aksesnya terhadap pendidikan, meskipun masyarakat di Sebuku dan Sembakung secara umum rendah tingkat pendidikan formalnya dibandingkan masyarakat umum. Anak laki-laki dan perempuan dinikahkan sangat dini, pada usia 10-13 tahun. Namun, setelah menikah anak laki-laki bisa kembali ke bangku sekolah, sementara anak perempuan harus segera menjalani tanggung jawab seorang perempuan yang menikah seperti bekerja di kebun dan di rumah, serta membantu ibu mertuanya menyediakan makanan keluarga.
Menurut Ahmad Wijaya dari Biosfer Manusia yang pernah bekerja bersama masyarakat Agabag, pada masyarakat tersebut terdapat tradisi purut, yaitu sejenis mahar dari laki-laki untuk meminang perempuan. Jumlahnya bisa cukup besar, tergantung dari keluarga pihak perempuan. Biasanya yang meminta adalah paman atau kakak laki-laki si perempuan, dan berupa barang. Sementara uang tunai untuk biaya perkawinan ditetapkan lain lagi. Karena besarnya purut itu, maka perempuan menjadi seperti "terbeli". Kadang bahkan dia sudah harus bekerja di keluarga calon suaminya pada saat lamaran diajukan.
Akibat tradisi tersebut, tingkat pengetahuan perempuan menjadi rendah dan berbuntut pada sulitnya memberikan penjelasan mengenai program atau informasi baru untuk meningkatkan kapasitas perempuan.
Ika menyebutkan, pada awalnya tidak mudah juga untuk menggunakan perspektif jender dalam memecahkan kegagalan program pada tahap awal. Bahkan, ide untuk menggunakan perspektif jender pun mendapat pertanyaan dari sesama rekannya. Tetapi, begitu perspektif itu disetujui, kegiatan langsung dimulai dengan mendata kegiatan reproduktif dan produktif yang dilakukan perempuan dan laki-laki, serta akses dan kontrol masing-masing dalam berbagai kegiatan tersebut.
Temuan-temuan dari analisis itu memberikan peta siapa melakukan apa dan siapa mempengaruhi siapa. Perempuan misalnya, tidak menghadiri pertemuan yang juga dihadiri laki-laki yang bukan suaminya. Karena itu pada tahap awal diadakan pertemuan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan dengan tidak mengusahakan untuk sedapat mungkin tidak memberi beban tambahan kepada perempuan. Hasilnya, perempuan menjadi lebih berani menyatakan pendapat.
Langkah selanjutnya adalah meyakinkan laki-laki untuk juga mau terlibat dalam kerja reproduktif seperti menjaga anak, mengambil air, dan membelah kayu bakar yang selama ini dikerjakan oleh perempuan. Para laki-lakinya diyakinkan bahwa pembagian kerja yang lebih merata itu bukan untuk kepentingan perempuan saja, tetapi untuk kepentingan keluarga. Perempuan yang mendapat kesempatan belajar membaca-meskipun masih sambil menggendong anak-lebih mudah menerima informasi baru yang berguna untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Langkah berikutnya adalah mengajak instansi pemerintah melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam PSDA.
Ika mengatakan, pendekatan memakai perspektif jender ini baru berjalan setahun lebih sehingga hasil-hasil lebih lanjut masih harus dilihat. Meskipun demikian, perubahan sudah mulai terlihat yaitu laki-laki sudah mau membantu mengupas dan mengangkut ubi kayu, serta mau membelah kayu. Sedangkan perempuan kini mau terlibat kegiatan baca dan tulis serta terlibat dalam berbagai kegiatan di desa.
Perempuan sering tertinggal dalam proses pembangunan karena para pelaksana pembangunan tidak menyadari adanya kebutuhan yang berbeda pada perempuan yang menyebabkan akses dan kontrol mereka berbeda dari laki-laki. Pengalaman lapangan Rukmini dan Ika Francisca kembali membuktikan perempuan bisa menjadi agen perubahan di masyarakat bila mereka mendapatkan hak-hak dasarnya.

By: Maria Hartiningsih/Ninuk MP
Source: Kompas

0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts