Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Menyusui dan Politik Payudara

Apakah makna payudara bagi sebagian besar perempuan? Pernahkah perempuan dengan sadar mendefinisikan payudaranya? Pemaknaan tubuh atau bagian-bagiannya, termasuk payudara sebenarnya sangat bergantung dengan relasi kuasa pada zamannya.
Pada zaman Victorian, perempuan-perempuan di Eropa memakai korset yang teramat ketat sebagai bagian dari pemaknaan tubuh ideal perempuan pada masa itu. Relasi kuasa pada masa Victorian adalah struktural dan feodal, artinya masyarakat menyadari akan adanya struktur kelas sosial dan jabatan yang membagi masyarakat paling tidak menjadi dua, kelas dominan (yang menentukan arah kebijakan dan mainstream kebudayaan) dan kelas inferior (yang di posisikan untuk mengikuti saja). Dalam relasi seperti ini, kelas inferior ‘sadar’ bahwa mereka memang di bawah dan harus mengikuti yang di atas. Dalam relasi kuasa tersebut, pembebasan dapat dilakukan melalui penyadaran atau bahkan pemberontakan (revolusi) berbasis kelas, misalnya dengan menggerakkan kelas-kelas tertindas (misal, perempuan atau buruh) untuk melawan.
Relasi kuasa pada masa sekarang tidak sesederhana relasi kuasa di atas. Relasi ini dapat dengan tepat didefinisikan oleh ilmuwan Italia Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni adalah relasi kuasa yang berdasar pada ‘the consent of the oppressed’ atau ‘kerelaan kelompok tertindas’. Kelompok yang tertindas bagaimanapun mengetahui bahwa mereka ini sedang ditindas, namun ada kerelaan menjalani kondisi tertindas tersebut.
Mengapa ada ‘kerelaan’ tersebut? Penyebabnya adalah karena hegemoni ‘menyerang’ pola pikir, cara pandang, dan kesadaran manusia melalui politik citra yang dijalankan oleh kelompok dominan (kalau masa sekarang kelompok dominan adalah pemilik modal yang tentu saja berorientasi pada penumpukan modal terus menerus). Politik citra ini salah satunya dapat dilihat dari bagaimana kelompok dominan membuat perempuan tidak puas dengan tubuhnya.
Kondisi ketidakpuasan perempuan diciptakan melalui—salah satunya—kampanye media tentang standar cantik perempuan. Kampanye tersebut bisa tampil dalam berbagai bentuk, dari mulai iklan pemutih, pelangsing tubuh, pembesar payudara, sampai kontes putri-putrian. Lebih jauh lagi kampanye ini sering tampil dengan nuansa ‘penyadaran’. Kampanye macam ini paling beresiko menyesatkan karena perempuan merasa ter’emansipasi’, padahal sesungguhnya mereka sedang diajak untuk mengikuti tren tertentu sesuai dengan kepentingan kelompok dominan.
Salah satu contoh kampanye yang bernuansa penyadaran ini adalah rangkaian kampanye ‘for real beauty’-nya Dove. Rangkaian produk Dove dengan brilian mengambil momen dimana perempuan mulai gelisah dengan standar cantik ala barat dengan membuat kampanye ‘untuk kecantikan yang sesungguhnya’. Dove ‘mengajak’ perempuan untuk menerima diri apa adanya bahkan bila dia gemuk dan beruban. Kampanye ini sangat brilian karena apabila citra ini berhasil mempengaruhi masyarakat, maka pengguna produk dove akan meluas dan bahkan hampir mencakup semua kalangan perempuan, tua-muda, gemuk-kurus, dan lain-lain. Dove akan untung berlipat ganda dari strategi kampanye ini, dan perempuan akan 'dimanipulasi' untuk merasa bahwa mengkonsumsi Dove adalah bagian dari idealisme untuk menghargai diri dan tubuh sendiri. Sungguh sesuatu yang sangat misleading. Demikianlah contoh hegemoni yang dilakukan kelompok pemilik modal melalui politik pencitraan.
Pertanyaan tentang makna payudara di awal tulisan juga tidak lepas dari konteks hegemoni. Payudara dalam ideologi kelompok dominan adalah sex object yang terus menerus akan dieksploitasi sebagai usaha kelompok dominan untuk membentuk citra tubuh perempuan. Payudara dieksploitasi sedemikian rupa melalui produk-produk bra sampai dengan produk pembesar payudara, sehingga bukan hanya laki-laki, bahkan perempuan sendiri pun percaya bahwa payudaranya adalah bagian dari daya tarik seksnya.
Sebagai bagian dari daya tarik seks, melalui payudaranya perempuan sering memposisikan diri sendiri sebagai sex object dengan cara misalnya memakai baju tertentu atau bra tertentu untuk mengekspos payudaranya. Perempuan kemudian sering dibuat tidak puas dengan payudaranya, takut kalau ukurannya kecil, takut kalau bentuknya jadi jelek, tidak kencang, dan lain-lain.
Hegemoni membuat perempuan bukan hanya tidak menyadari bahwa dia diobjektifikasi oleh budaya patriarkhi, tetapi juga ‘dengan senang hati’ mengikuti ideologi dominan (ideologi modal yang patriarkhis) untuk memperlakukan tubuh sendiri sebagai objek seks. Inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘the consent of the oppressed’ atau ‘kerelaan kelompok tertindas’. Bayangkan, betapa banyak keuntungan yang dikeruk oleh pemilik modal hanya dari politik payudara ini saja. Salah satu yang terburuk dari politik payudara adalah bahwa perempuan tidak menyadari lagi fungsi payudara, yang sesungguhnya sebagai sumber kehidupan dan sumber makanan. Politik payudara ‘menghalangi’ perempuan untuk menyusui anaknya dari—paling tidak—dua sisi.
Pertama, sebagai sex object perempuan sering tidak mau bentuk payudaranya menjadi jelek dan tidak menarik lagi. Semuanya semata-mata karena perempuan dikondisikan oleh budaya patriarkhi untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki. Menyusui kemudian banyak dimitoskan akan mengubah bentuk payudara, membuat payudara jadi turun dan jelek, dan lain-lain. Hal ini membuat ibu, apalagi tanpa dukungan penuh dari ayah, memiliki banyak kecemasan untuk menyusui dan akhirnya terdorong untuk enggan menyusui. Kecemasan semacam ini adalah bagian dari strategi kelompok dominan untuk misalnya meningkatkan penjualan susu formula karena si ibu tidak mau menyusui.
Kedua, karena payudara terlanjur dianggap menjadi sex object, maka mengekspos payudara di depan umum kadang dianggap hampir sama dengan laki-laki yang mengekspos penisnya misalnya. Membuka payudara di depan umum adalah ‘saru’, tidak layak, tidak pantas karena akan menimbulkan nafsu, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan perempuan enggan menyusui di tempat umum yang terbuka, padahal fasilitas privat di tempat umum tidak disediakan. Cita-cita untuk menyusui eksklusif anaknya tidak kesampaian karena si ibu harus banyak beraktifitas di tempat umum. Akhirnya pemilik modal lagi yang diuntungkan.
Walaupun hegemoni terjadi dengan ‘kerelaan kelompok tertindas’, namun bukannya sama sekali tidak bisa dilawan. Kesadaran kritis perempuan adalah satu jalan masuk supaya objektifikasi terhadap tubuh perempuan dapat dieliminir. Kesadaran ini dapat berupa penghargaan terhadap tubuh dan perubahan cara pandang terhadap tubuh. Menyusui selain sebagai pemenuhan hak asasi anak, adalah penghargaan tertinggi yang bisa diberikan perempuan terhadap tubuhnya.
Mengenai perubahan cara pandang terhadap tubuh, ada pendapat menarik bahwa payudara itu sumber kehidupan dan sumber makanan bagi anak, tak ubahnya seperti sawah yang menjadi sumber kehidupan dan makanan bagi semua orang. Dalam hal ini, payudara dan sawah sebenarnya sebuah analogi. Pola pikir patriakis-lah yang membuat kita sangat sulit menerima analogi tersebut. Maka, menyusui adalah bagian dari proses pembebasan diri dan tubuh perempuan dari hegemoni kelompok dominan yang hanya akan berefek pada penumpukan modal. Jadi sekarang, apakah makna payudara bagi kita (perempuan)? ***

Penulis: Sakdiyah Ma’ruf (Staf Divisi Konsumen Yayasan Kakak)
Source: www.kakak.org, 29 November 2007
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts