Senin, 20 Juli 2009 16:44
OLEH: STEVANI ELISABETH
Jakarta - Kekerasan di sekolah dalam Masa Orientasi Siswa (MOS) yang menyebabkan meninggalnya Roy Aditya, siswa baru SMA Negeri 16 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (15/7), merupakan efek dari kebijakan pendidikan yang tidak ramah anak. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) seharusnya ikut bertanggung jawab atas kasus kekerasan di sekolah, tidak hanya menyalahkan pihak sekolah.
Penegasan itu dikemukakan oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Hadi Supeno, dalam siaran pers yang dikirimkan kepada SH. Menurutnya, sekolah-sekolah pada umumnya tidak ramah anak, penuh tekanan yang disebabkan, antara lain, oleh kurikulum, tekanan target-target sekolah, dan beban biaya yang harus ditanggung orang tua. Pendidikan menjadi mekanis dan mendehumanisasi. Karena anak diperlakukan keras, maka refleksinya akan memperlakukan orang lain dengan cara-cara kekerasan.
Pada sisi lain, pengelola sekolah dan guru dianggap sebagai objek, sentral, dan dominan. Sementara siswa adalah objek, sekunder, dan dalam penguasaan sekolah dan guru. Banyak guru menganggap bahwa kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002, kekerasan terhadap anak adalah pelanggaran serius.
Pasal 54 menyebutkan, anak di dalam lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya. Pasal 80 mengancam pelaku kekerasan kepada anak, apabila sampai meninggal diancam hukuman maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Oleh karena itu, KPAI mendesak aparat hukum untuk mengusut tuntas tindak kekerasan saat MOS berdasarkan UU Perlindungan Anak. Menurut data KPAI, peristiwa kekerasan MOS tahun 2009 mencapai 11,3% dilakukan oleh guru. Oleh sebab itu, KPAI meminta semua Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk memasukkan materi Konvensi Hak Anak dan UU PA dalam kurikulum mahasiswa calon guru.
“Bullying”
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron Jakarta, John IM Pattiwael, juga menilai kekerasan di sekolah yang disebut bullying, merupakan perilaku yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok murid yang “menguasai” siswa lain.
Bullying dibagi lima kategori, yakni kontak fisik langsung seperti memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan dan sebagainya. Kategori berikutnya kontak verbal langsung seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, merendahkan, mencela, mengintimidasi, menyebarkan gosip dan memaki.
Sedangkan kategori perilaku non-verbal langsung seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek atau mengancam yang biasanya disertai bullying fisik atau verbal. “Sebagian besar korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak yang punya kekuatan untuk menghentikan siklus ini,” ungkap John pada penyuluhan hukum Problematik Pendidikan: Kekerasan dalam Lingkungan Sekolah, di SMA Negeri 70 Jakarta, Jumat (17/7).
Menurutnya, korban cenderung merahasiakan kekerasan yang dialaminya karena takut si pelaku akan meningkatkan lagi bullying kepadanya. Yang biasanya menjadi korban adalah mereka yang berpenampilan mencolok, tidak berperilaku sesuai, perilakunya dianggap tidak sopan dan tradisional. Korban biasanya susah tidur, sakit kepala atau perut, tidak nafsu makan, takut pergi ke sekolah, tidak tertarik pada aktivitas sosial yang melibatkan murid lain, dan barang-barang pribadinya sering hilang ata dirusak.(ayu)
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/beban-sekolah-munculkan-kekerasan/
Post a Comment