24 Maret 2009, 09:09
Seorang jurkam nasional Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam kampanye akbar di Banda Aceh menjanjikan anggota DPR-RI dari parpol berlambang Ka’bah itu akan memperjuangkan UU produk halal di Indonesia. “Dengan demikian setiap produk makanan tanpa izin halal diboikot,” katanya.
Sebagai isu kampanye, soal label “halal” memang sangat tepat ditawarkan kepada masyarakat Aceh yang menjalankan syariat Islam. Apalagi, akhir tahun lalu, pihak MUI Pusat menyatakan bahwa dari sekitar 100 ribu produk makanan, obat, dan kosmetik yang beredar di pasaran negeri ini, hanya 84% yang mempunyai sertifikat halal. Selebihnya masih abu-abu. Abu-abu yang dimaksud di sini antara lain label halal palsu atau bahkan produknya yang balakangan ini memang banyak dipalsukan.
Karena itu, pemerintah didesak agar mengambil langkah yang serius untuk mengatasi masalah ini. Sebab, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim sudah semestinya pemerintah memperhatikan secara sungguh-sungguh masalah halal dan haram ini.
Khusus untuk Aceh, pada akhir 2008, Pusat Kajian Veteriner Tropis (PKVT), Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unsyiah, mengungkapkan adanya sejumlah produk makanan berbahan asal hewan yang tak berlabel halal dijual bebas di kawasan Kota Banda Aceh. Produk makanan tak berlabel halal itu umumnya ditempatkan dalam satu kelompok dengan produk berlabel halal, sehingga dikhawatirkan akan mengecoh konsumen. Menyusul temuan tersebut, pihak terkait di Aceh diminta mengambil tindakan tegas guna melindungi masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.
PKVT tidak menyatakan produk tak berlabel halal itu sebagai makanan haram. Namun bila kandungan produk tersebut halal, kepada produsen diminta agar mencamtumkan label halal di kemasan produk. Sebab, produsen memiliki tanggungjawab menciptakan kenyamanan kepada konsumen, khususnya di Aceh. Dan, tidak perlu dikaitkan dengan perdagangan global, yang jelas pencantuman label halal harus diwajibkan pada setiap produk tertentu yang beredar di Aceh.
Bicara soal produk, khsusunya makanan, minuman, dan obat-obatan, yang diperdagangkan di Aceh, tentu bukan cuma masalah halal dan haram. Tapi, juga banyak hal. Bahkan konsumen di Aceh sudah merasa kurang aman. Baru-baru ini, misalnya ditemukan bukti, banyak produk kedaluwarsa, beracun, dan berbahaya masih dijual di pusat pertokoan dan pasar swalayan. Produk yang dapat mengancam jiwa konsumen itu antara lain menggunakan bahan pengawet beracun, seperti mengandung pemutih (klorin), pengawet formalin, dan zat kimia arsenik yang mematikan manusia. Belakangan, di sejumlah pertokoan di Banda Aceh juga ditemukan berbagai jenis kosmetika yang kedaluwarsa serta ada pula produk yang tak mencantumkan tanggal kedaluwarsa.
Sebetulnya, peradaran produk tanpa label halal, kedaluwarsa, beracun, dan berbahaya sudah berlangsung lama. Dan, hingga kini masih berlangsung sehingga menunjukkan pemerintah tidak serius memberantas. Ketidakseriusan pemerintah mengawasi dan melindungi konsumen dari produk berbahaya sekaligus memperbesar rasa takut konsumen setiap kali ingin memakan, meminum, atau memakai sesuatu produk.
Atas kelalaian pemerintah itu, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Aceh, Fahmiwati, mengingatkan konsumen agar lebih jeli dalam memilih dan membeli barang. “Konsumen berhak mengetahui komposisi dan kandungan terhadap barang yang akan dibeli.”
Dan, kepada pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini, BPOM serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan kita minta proaktif menjalankan kewajibannya. Jangan karena kelalaian dan kemalasan mereka kita sebagai konsumen yang menjadi korban.
http://m.serambinews.com/news/pencantuman-label-halal-wajib-di-aceh
Post a Comment