Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Rumah Dinas dan Pelayanan Publik

Kamis, 30 Juli 2009 16:08 WIB

Hari-hari ini muncul kontroversi berkaitan dengan rencana pembelian rumah dinas untuk Wakil Gubernur DKI Jakarta di Jalan Teuku Umar. Rencana pembelian rumah seharga Rp 28 miliar menimbulkan pro dan kontra, karena dinilai terlalu mahal dan tidak mendesak untuk harus dilakukan saat ini.

Kita cenderung berpendapat bahwa hal itu memang tidaklah mendesak. Mengapa? Karena sekarang ini sudah ada rumah dinas wagub yang terletak di Jalan Denpasar. Kawasan itu termasuk kawasan yang baik karena di sana juga tinggal beberapa menteri dan juga duta besar negara sahabat.

Artinya, dalam upaya menyediakan fasilitas bagi pejabat publik agar ia bisa bekerja lebih tenang dan mendapatkan penghormatan yang tinggi sudah diberikan. Sekarang ini tinggal bagaimana pejabat itu “membayar” kehormatan yang didapatkan itu dengan kinerja dan pelaksanaan tanggung jawab yang lebih baik. Noblesse oblige, kehormatan itu menuntut tanggung jawab.

Alasan kedua mengapa pembelian rumah dinas tersebut tidak mendesak dilakukan adalah urgensi dari penggunaan anggaran. Kita harus menyadari bahwa anggaran yang dimiliki bukan tidak ada batasnya. Dalam situasi perekonomian dunia seperti sekarang, setiap sen anggaran yang dimiliki lebih baik dipergunakan untuk kegiatan pembangunan daripada untuk belanja rutin.

Dana sebesar Rp 28 miliar akan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar apabila dipakai untuk kepentingan pembangunan. Yang paling sederhana adalah untuk perbaikan jalan-jalan rusak di jalan-jalan utama di Jakarta ini. Dengan memperbaiki jalan yang rusak bukan hanya banyak orang yang bisa turut serta dalam perbaikan jalan rusak tersebut, ketika jalan lebih baik maka mobilitas orang akan semakin tinggi. Ini tentunya akan memberikan dampak ekonomi yang sangat besar.

Belum lagi jika dilihat dari citra Jakarta. Dengan jalan-jalan yang lebih mulus, maka orang akan memuji Jakarta. Dengan fasilitas publik yang lebih baik, orang akan lebih nyaman tinggal di Jakarta. Apabila orang asing yang lebih banyak terkesan dan mau tinggal lebih lama dan lebih banyak di Jakarta, ini akan memberikan dampak ekonomi yang positif bagi ibu kota negara ini.

Semua itu kelak akan kembali kepada keuangan pemerintah daerah sendiri. Investasi itu akan kembali dalam bentuk penerimaan daerah yang lebih tinggi.. Dari penerimaan itulah maka Pemda akan bisa membeli rumah dinas baru bagi wagub.

Inilah yang selama ini menjadi keprihatinan kita. Betapa para pejabat publik negara ini tidak cukup memiliki wawasan. Ketika ia ditunjuk sebagai pejabat, yang lebih dipikirkan apa keistimewaan yang didapatkan, bukan apa yang bisa dikontribusikan bagi kepentingan masyarakat.

Tidaklah keliru apabila kekuasaan bagi kita cenderung dilihat sebagai sebuah keistimewaan. Power is privilege. Seakan-akan menjadi pejabat itu sebagai sebuah tujuan. Dan tujuan itu adalah keistimewaan tadi. Penghormatan yang wajib diberikan oleh masyarakat kepada dirinya.

Padahal ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pejabat negara, yang pertama ingin dilakukan adalah mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat banyak. Bahkan ketika mejadi pejabat negara, hak pribadinya, privacy-nya menjadi berkurang karena praktis seluruh waktunya diberikan untuk kepentingan publik.

Apakah dengan seperti itu kehormatannya menjadi tidak ada? Yang namanya pejabat publik tetap mendapatkan kehormatan yang luar biasa. Mereka tetap mendapatkan keistimewaan dalam banyak hal seperti fasilitas yang melekat dengan jabatannya, perangkat keamanannya, dan banyak lagi.

Memang dalam negara yang memiliki tradisi feodal yang sangat kuat seperti Indonesia, cara melihat jabatan itu sangat berbeda. Prinsip “Raja itu tidak pernah salah” sangatlah kuat. Bahkan karena pejabat itu menempatkan dirinya sebagai raja, maka rakyat itu harus menghamba, bukan dia yang seharusnya melayani masyarakat.

Asketisme praktis tidak dikenal dalam prinsip hidup pejabat di negara kita. Bahkan karena sikapnya yang feodal, pejabat itu menuntut yang namanya kemewahan.

Itulah yang seringkali menimbulkan ironi. Di saat pejabatnya hidup dalam kemewahan, rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Di saat pejabatnya berharap untuk mendapatkan rumah dinas senilai Rp 28 miliar, fasilitas umum seperti jalan-jalan dibiarkan rusak tidak tertangani.

Kita tentunya harus mengembalikan semua itu kepada proporsinya. Kita tentunya tidak akan memberikan fasilitas yang buruk kepada para pejabatnya. Namun sebelum kenikmatan pribadi dipenuhi, alangkah lebih baiknya apabila fasilitas untuk publik yang didahulukan.

Sering kita merasa kangen dengan pribadi pejabat negara seperti Mohammad Hatta. Bagaimana dengan asketismenya, dengan kehidupan yang sederhana, ia bukan hanya menjadi pemimpin yang baik di negeri ini, tetapi juga menjadi contoh bagi rakyatnya. Bung Hatta tidak harus merasa rendah diri dengan sikapnya itu. Ia
bahkan dihormati hingga saat ini sebagai pemimpin yang mampu menanggalkan sikap feodalnya.

Pemimpin seperti itulah yang kita butuhkan saat ini. Pemimpin yang bisa merasakan denyut nadi kehidupan rakyatnya. Pemimpin yang peduli pada kehidupan rakyatnya. Pemimpin yang memiliki sense of urgency, memiliki tingkat kepekaan mana yang lebih baik didahulukan. Pemimpin yang sangat sadar bahwa ia hidup dari pajak yang dibayarkan rakyat, sehingga sepantasnya apabila ia mendahulukan kepentingan rakyatnya terlebih dahulu daripada kepentingan dirinya.

http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/tajuk/37/30/7/2009/Rumah-Dinas-dan-Pelayanan
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts