Thursday, 06 March 2008 09:14
WASPADA Online
SUASANA di ruang pembayaran listrik PT PLN yang ada di Pancur Batu siang pekan lalu, sedikit tegang. Seorang bapak dengan logat khas Karo seperti menghardik para petugas yang ada di situ.
Loket pembayaran PT PLN yang ada di Pancur Batu dikhususkan untuk berbagai kawasan di Medan yang telat membayar listrik. Tapi banyak kejadian di ruang pembayaran ini yang menunjukkan betapa banyaknya ‘kebodohan’ dilakukan para petugas pencatat meter, penagih dan staf PLN.
Seperti yang diungkapkan bapak tersebut. Dia datang dengan sedikit amarah. “Bagaimana ini cara kalian mencatat meter listrik. Sama sekali saya tidak pernah ditagih tiba-tiba datang surat ancaman harus membayar enam bulan,” tegasnya. Kebetulan dia di situ berbicara dengan Zufen Tarigan yang menerima semua keluhan konsumen.
Menurut bapak tersebut, sejak rumahnya di pasang meter listrik ketika mau dibayar tidak ada datanya. Dia sudah menghubungi tempat pembayaran beberapa kali namun tetap saja tidak pernah diberikan tagihan. “Ini bukan salah saya.
Sudah beberapa kali saya datang ke loket tapi katanya tidak ada tagihan untuk rumah saya. Tiba-tiba muncul tagihan total selama enam bulan kumulatif harus dibayar dan diancam bongkar kalau tidak diselesaikan,” katanya.
Dia pun mengeluhkan dengan ucapan yang lebih kasar. Petugas PLN di situ hanya meminta sabar dan memberi penjelasan kalau itu harus dibayar. Untung saja bapak tersebut tidak melanjutkan emosinya.
Petugas PLN yang melayani di kantor tersebut harus mendengar semua keluhan konsumen tersebut. Sampai kemudian akhirnya dia mengalah dan mau membayar. Padahal itu sudah kesalahan PLN.
Loket pembayaran di Pancur Batu ini merupakan bagian dari PLN cabang Lubuk Pakam. Pengalaman seperti ini terus berulang dan berlanjut di banyak loket pembayaran PLN. Salah hitung, salah tebak dan dipermainkan semuanya dibebankan konsumen.
Di tiap loket pembayaran, biasanya PLN menempatkan petugasnya yang berani adu argumentasi. Padahal hanya berargumentasi dengan konsumen yang tidak mengerti apa-apa. Semua kesalahan ditimpakan ke masyarakat pembayar.
Belum lagi pengalaman yang menimpat R. Sitepu. Rumahnya yang berada di Tanjung Selamat Medan dibebani tagihan hingga Rp3 juta lebih. Tagihan itu merupakan akumulasi keterlambatan pembayaran selama satu tahun.
Petugas PLN datang beberapa kali ke rumahnya sambil mengancam membongkar paksa semua aliran listrik kalau tidak segera dibayar. Petugas mengungkapkan tagihan sudah terlalu lama tak dibayar.
Merasa tidak puas dengan sikap PLN yang seperti itu dia pun menghubungi petugas di loket pembayaran Pancur Batu. Dia bertanya kenapa setelah tagihan menumpuk selama setahun baru disuruh bayar.
Padahal harusnya selama tiga bulan tidak membayar aliran listrik sudah harus diputus bukan ditumpuk seperti yang mereka lakukan sekarang. Dia pun mengajukan komplain dan meminta keringanan pembayaran. Memang disepakati ada cicilan tapi harus dibayar selama lima bulan.
Ketidakpuasan tetap saja datang karena PLN seperti menumpuk semua tagihan selama setahun untuk kemudian dibayar sekaligus. PLN Pancur Batu sama sekali tetap memaksakan harus dilunasi walau dengan cicilan. Atas kejadian tersebut konsumen ini pun berniat mengadukannya ke Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK)
Sebab hanya sekira sebulan setelah dia berniat mencicil, petugas PLN datang ke rumahnya dan langsung membongkar paksa seluruh instalasi. Melihat kondisi tersebut R. Sitepu kembali mendatangi PLN Pancur Batu untuk mempertanyakannya.
Jawaban tetap saja harus dibayar. Tidak ada pilihan lain karena listrik sudah dibongkar dia pun membayar lunas. Anehnya setelah itu dibongkar petugas penyambung malah meminta uang sambungan kembali Rp50.000. Padahal ketika membongkar mereka tidak perlu dibayar.
“Coba dengan cara seperti inilah PLN memberi pelayanan kepada konsumen. Berapa banyak kesalahan yang mereka lakukan. Bertengkar dengan mereka pun tak ada ujungnya. Lebih baik mengadukan ke lembaga konsumen. Pasalnya hanya PLN yang bisa membongkar dan menyambung kembali listrik,” ujarnya.
Cerita salah hitung, salah catat meter dan semua yang merugikan konsumen akan berlanjut. Sebab pasti akan lebih banyak konsumen yang kena disinsentif daripada insentif. PLN sendiri mengaku lebih dari 90 persen pelanggan listrik golongan rumah tangga berpotensi terkena disinsentif, berupa tambahan biaya rekening dalam program penghematan listrik yang direncanakan April 2008. Jadi seperti yang disampaikan lebih baik mengadukan persoalan ke lembaga konsumen.
Armin Nasution
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=13123:salah-hitung-salah-tebak-tetap-beban-konsumen&catid=18:bisnis&Itemid=95
Post a Comment