Gerakan Konsumen Indonesia
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. (Kejahatan hanya bisa terjadi ketika orang baik tidak berbuat apa-apa). ---Edmund Burke

Bom Waktu `Melacurkan' Profesi Kedokteran

Oleh Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

DI Indonesia, tengara bahwa profesi kedokteran sering `melacurkan' statusnya untuk mengeduk keuntungan melimpah tak bisa dielakkan. Menggoreskan penanya untuk membuat resep obat mahal adalah ciri khasnya. Pula sang dokter melakukan tindakan medis tertentu yang sejatinya tidak diperlukan. Misalnya, pemeriksaan menggunakan instrumen USG (ultrasonografi), atau berbagai tindakan lain yang lebih bernilai ekonomi tinggi. Ironisnya, fenomena semacam itu justru kian langgeng karena disokong negara.
Pemerintah, melalui Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, kini telah menyepakati suatu perjanjian yang bertajuk ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Medical Practioners (MRA), yang telah diratifikasi semua negara anggota ASEAN. Substansi perjanjian itu adalah membuka kran yang amat luas bagi profesi kedokteran untuk berpraktik di wilayah ASEAN.
Terhitung 1 Januari 2010, perjanjian MRA akan berlaku efektif dan bersifat mengikat.

Apa pun alasan dan argumentasinya, secara radikal perjanjian MRA ini layak dipertanyakan, bahkan digugat. Potensi kerugiannya lebih besar jika dibandingkan dengan potensi keuntungannya. Bahkan, terlepas dari persoalan substansi, perjanjian ini secara paradigmatis mempunyai cacat tersembunyi yang amat fatal. "Saya malu Pak Tulus, saya merasa profesi dan martabat saya sebagai dokter direndahkan perjanjian ini," demikian protes seorang guru besar kedokteran kepada penulis dalam suatu obrolan minum kopi. Secara historis-sosiologis, pernyataan sang guru besar itu benar adanya, bahwa profesi kedokteran sejak dari sono-nya dilahirkan bukan untuk kepentingan bisnis dan ekonomi, bukan pula untuk diperdagangkan; melainkan justru untuk kepentingan kemanusiaan (human interest). Nah, via perjanjian MRA ini, peran profesi kedokteran direduksi total, hanya sebagai `binatang' ekonomi ansich. Tidak lebih, tak kurang.
"Saya tidak habis pikir Menkes mendiamkan dan atau bahkan melakukan hal ini," tandas sang guru besar. Namun, warning sang guru besar ini tampaknya belum bergaung pada institusi yang berkompeten melakukan perlawanan. Selain Menkes yang terus membisu, ternyata PB IDI pun mengambil sikap serupa.
Plus, pimpinan fakultas kedokteran di Indonesia---yang jumlahnya tidak kurang dari 52 fakultas--tak ada bedanya.

Berangkat dari cacat paradigmatis itu, jika kita elaborasi lebih mendalam, perjanjian MRA tidak akan melahirkan keuntungan apa pun, tidak bagi profesi kedokteran, apalagi bagi konsumen. Sebaliknya, perjanjian itu hanya akan menciptakan potensi kerugian signifikan.
Konsumen akan menangguk mahalnya biaya pengobatan, tanpa a d a nya jaminan kesembuhan. Apa yang ada di benak dokter asing hanyalah uang, uang, dan uang.
Tidak ada yang lain. Kepentingan kemanusiaan akan dicampakkan dalam tong sampah. Jadi, jika kita sakit dan sedang tongpes alias no money, jangan harap akan ditangani (dokter kita saja sering melakukan hal semacam itu!).

Perjanjian MRA ini juga akan mengakibatkan dokter lokal mati angin karena eksistensi (`periuk nasinya') tergerus. Sebagian pasien tentu akan beralih ke dokter asing karena merasa dokter asing itu lebih cespleng dalam mengobati suatu penyakit. Padahal, belum tentu juga, apalagi ada kendala bahasa. Tanpa komunikasi intensif dengan pasien, risiko kegagalan pengobatan lebih besar.

Lebih dari itu, dokter asing hanya akan melongok wilayah Indonesia yang secara ekonomi lebih menggiurkan. Jangan harap dokter asing mau `buka warung' di Larantuka, NTT, misalnya. Jangankan dokter asing, dokter kita pun lebih enjoy di wilayah loh jinawi, terutama Jabodetabek. Kalau perjanjian MRA adil, seharusnya juga endorong pemerataan bagi publik un tuk mengakses jasa dokter. Hingga kini, selain jumlah dokter di Indonesia memang belum memadai, penyeba rannya belum mer ata. Jumlah tenaga dokter hanya men capai 70 ribu orang; 50 ribu dokter umum dan 20 ribu dokter spesialis. Dengan mengutip pendapat Dr Fahmi Idris, Ke tua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), jumlah itu belum memadai. Negeri kepulauan ini minimal membutuhkan 80 ribu dokter umum. Eksistensi dokter spesialis lebih parah lagi, satu dokter spesialis diakses 110 ribu orang.
Jika dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam, per satu dokter spesialis hanya menangani 18 ribu orang. Pantas jika di Kota Palu dan Palangkaraya hingga kini tidak mempunyai dokter spesialis paru.

Kerugian lainnya, kita hanya bisa menerima dokter asing, tapi kita tidak mampu melakukan hal serupa. Pasalnya, ijazah sarjana kedokteran negara persemakmuran di ASEAN--seperti Singapura, Malaysia, Filipina--telah mengantongi pengakuan internasional, bahkan dari Amerika.
Sementara itu, ijazah sarjana kedokteran kita mendapatkan pengakuan dari langit mana?
Sejatinya tak ada jalan keluar yang paling indah dan elegan, selain menolak dan membatalkan perjanjian MRA ini. Namun, tampaknya secara normatif dan fatsun politik internasional hal itu sulit dilakukan. Namun, agar efek perjanjian MRA ini tak meluas, seharusnya pemerintah melakukan terobosan kebijakan radikal, misalnya perbaiki pola hubungan transaksional antara dokter dan pasien.
Fenomena `KKN ria' antara dokter dan perusahaan farmasi terjadi karena adanya transaksi cash money antara dokter dan pasien. Selain mendapatkan fulus dari konsumen, diduga kuat dokter juga menangguk `bonus' dari perusahaan farmasi karena telah meresepkan merek obatnya. Fenomena semacam ini secara sistemik bisa dieliminasi dengan sistem jaminan sosial. Dengan berbasis sistem ini, hubungan transaksional antara dokter dan pasien akan terpangkas karena sistem ini tidak menoleransi adanya cash transfer. Sistem ini secara normatif sudah mendapatkan dasar legitimasi yang amat kokoh, yaitu dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jadi tinggal mengimplementasikan saja.

Untuk mengelaborasi sistem ini, pola `dokter keluarga' tampaknya menjadi pilihan tepat. Di negara lain, seperti Taiwan, Belanda, Inggris, Kanada, dll, dokter keluarga sudah lazim digunakan. Dokter keluarga akan membawai satu komunitas tertentu, dengan jumlah yang telah disepakati bersama, misalnya satu dokter keluarga mengelola 2.500 orang. Dokter keluarga ini lebih banyak melakukan tugas dan fungsi preventif, bukan kuratif. Income dokter keluarga secara penuh ditanggung Sistem Jaminan Sosial, misalnya berupa asuransi nonkomersial. Secara personal, sang dokter juga terpacu untuk bekerja lebih optimal, lebih kreatif; karena jika tidak, income-nya akan habis tergerogoti oleh anggota komunitasnya yang sakit.

Pada akhirnya, terobosan kebijakan radikal semacam itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Kecuali jika pemerintah dan komunitas internasional--via MRA--ingin memelihara bom waktu, atau ingin melanggengkan praktik kolutif antara dokter dan perusahaan farmasi. Sementara itu, semangat perlawanan untuk menolak perjanjian MRA ini harus terus digelorakan, tanpa henti.
Selain untuk membongkar cacat paradigmatis yang ada, agar konsumen-pasien di Indonesia tidak menjadi sapi perah dokter asing, plus dokter lokal pula.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/04/ArticleHtmls/04_08_2009_017_001.shtml?Mode=0#
0 comments:

Post a Comment

Selamat Datang

Blog ini diproyeksikan untuk menjadi media informasi dan database gerakan konsumen Indonesia. Feed-back dari para pengunjung blog sangat diharapkan. Terima kasih.

Followers


Labels

Visitors

You Say...

Recent Posts