30/07/2009 08:03:57
Oleh : Revrisond Baswir
KETERBELAKANGAN ekonomi rakyat bukanlah sebuah fenomena yang berdiri sendiri. Selain berkaitan dengan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan peluang kerja, berkaitan pula dengan fenomena keterbelakangan pedesaan, rendahnya tingkat kesehatan penduduk dan rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja. Sebab itu, pemberdayaan ekonomi rakyat tidak dapat dilakukan tanpa mengaitkannya secara langsung dengan penanggulangan faktor-faktor struktural yang menyebabkan terjadinya kesenjangan dan kemiskinan tersebut.
Lebih-lebih bila pemberdayaan ekonomi rakyat hanya dibatasi pada upaya-upaya mikro tertentu, seperti pengembangan kewirausahaan, peningkatan kualitas produk, dan penyediaan fasilitas pemasaran. Dengan mengatakan itu, tidak berarti bahwa upaya-upaya mikro tersebut tidak bermanfaat sama sekali. Walau demikian, sejak semula harus disadari bahwa upaya-upaya itu adalah upaya karitatif yang bersifat parsial. Pemberdayaan ekonomi rakyat melalui cara-cara seperti itu sangat mudah diselewengkan untuk tujuan-tujuan politik tertentu.
Selain itu, bila bantuan yang diterima oleh ekonomi rakyat melalui upaya-upaya karitatif tersebut tidak sebanding dengan faktor-faktor struktural yang menyebabkan terjadinya keterbelakangan ekonomi rakyat, maka akan sangat mudah mengalami proses penihilan. Artinya, hasil pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pendekatan karitatif itu, sangat mudah untuk dihisap kembali dan disapu bersih oleh faktor-faktor struktural yang menyebabkan terjadinya keterbelakangan.
Agar pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dilakukan secara sungguh-sungguh, maka faktor-faktor struktural penyebab keterbelakangan ekonomi rakyat berikut perlu mendapat perhatian. Pertama, dilaksanakannya strategi pembangunan neoliberal yang pro pertumbuhan dan modal asing sejak 1967. Implikasi penerapan strategi pembangunan yang mempercayai teori tetesan ke bawah itu adalah dilakukannya segala upaya untuk memfasilitasi pengembangan usaha-usaha besar sebagai lokomotif pembangunan nasional. Ekonomi rakyat hanya diperlakukan sebagai katup pengaman penyediaan peluang kerja.
Kedua, dilakukannya sentralisasi pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah pusat (baca: Jakarta). Pada sisi pendapatan jumlahnya mencapai 95% dari seluruh pendapatan negara. Sedang pada sisi belanja, jumlahnya meliputi 70% dari seluruh belanja negara. Itu belum termasuk dana-dana non-bujeter yang tersebar pada ribuan rekening liar di berbagai instansi pemerintahan.
Ketiga, dilakukannya mobilisasi dana masyarakat secara besar-besaran oleh sektor perbankan yang berkantor pusat di Jakarta. Akibatnya, sekitar 70% tabungan masyarakat disalurkan sebagai kredit kepada usaha-usaha besar yang berkantor pusat di Jakarta pula. Implikasinya, hanya tersisa sekitar 30% fasilitas pendanaan bagi seluruh pelaku ekonomi yang berbasis di luar Jakarta. Jumlah dana yang sangat terbatas itulah yang turut diperebutkan oleh jutaan pelaku ekonomi rakyat di seluruh Indonesia.
Keempat, merajalelanya praktik korupsi di Indonesia. Jika dilihat dari sudut APBN, volume bisnis korupsi di Indonesia hampir setara dengan volume APBN. Dengan volume bisnis korupsi sebesar itu maka mudah dimengerti bila masyarakat internasional senantiasa menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara juara korupsi di dunia dan tetap mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara juara korupsi di Asia.
Kelima, dirampasnya hak-hak ekonomi rakyat dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Hal itu tidak hanya dialami oleh para petani dalam berbagai kasus pembebasan tanah, masyarakat adat dalam kasus eksplorasi sumberdaya hutan, atau oleh para pedagang pasar dalam kasus renovasi pasar yang dipaksakan, melainkan dialami pula oleh para nelayan, buruh, dan para pelaku ekonomi rakyat lainnya.
Menyimak kelima faktor struktural penyebab keterbelakangan ekonomi rakyat tersebut, maka pemberdayaan ekonomi rakyat yang bersifat karitatif dan parsial sangat sulit diandalkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat secara berarti. Sebab itu, penanggulangan faktor-faktor struktural tersebut harus disikapi sebagai satu kesatuan program pemberdayaan ekonomi rakyat yang bersifat komprehensif.
Dalam ungkapan yang lebih tegas, pemberdayaan ekonomi rakyat yang sungguh-sungguh hanya dapat dilakukan dengan menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan sebagai alternatif terhadap sistem ekonomi neoliberal. Sebagaimana dikemukakan oleh Pasal 33 UUD 1945, ekonomi kerakyatan adalah sistem perekonomian yang melembagakan kedaulatan ekonomi rakyat. Tujuannya adalah untuk mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.
Prinsip penyelenggaraan ekonomi kerakyatan adalah tiga ayat yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan ”usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” dalam ayat (1) Pasal 33 UUD 1945 tersebut ialah koperasi. Artinya, secara normatif, dalam penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan, setiap pelaku ekonomi Indonesia harus melihat diri mereka bersaudara. Sebab itu, dalam rangka mencapai kemakmuran bersama, mereka harus berusaha untuk bekerja sama dan saling bantu membantu (Hatta, 1970).
Sedang secara kelembagaan, sebagaimana dikemukakan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dihapuskan), pilihan dengan sendirinya jatuh pada koperasi. Artinya secara khusus, terkait dengan pemberdayaan ekonomi rakyat, strategi terpenting yang harus dilakukan adalah pengorganisasian ekonomi rakyat melalui pelembagaan koperasi. Sebagaimana diketahui, koperasi bukanlah organisasi perusahaan biasa. Selain merupakan badan usaha, ia juga berfungsi sebagai gerakan ekonomi rakyat.
Pemberdayaan ekonomi rakyat yang sungguh-sungguh hanya dapat dilakukan jika ekonomi rakyat terkonsolidasi dalam berbagai jenis koperasi. Tanpa pelembagaan koperasi, hampir dapat dipastikan, ekonomi rakyat akan tetap terbelakang.
(Penulis adalah Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM)-z
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=203226&actmenu=45
Post a Comment