28 October 2009, 15:04
* Mutu Pendidikan Aceh Dirasakan 12 Tahun Lagi
BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf memerintahkan Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) mengawasi secara lebih ketat proyek-proyek APBA dan APBN 2009. “Proyek fisik dan nonfisik yang dikerjakan kontraktor belum memenuhi spek atau standar mutunya, saya perintahkan untuk dibongkar dan diperbaiki sesuai standar,” tegas Irwandi.
Pernyataan itu disampaikan Irwandi kepada Serambi, Selasa (27/10) di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, seusai jumpa pers tentang peluncuran program baru bidang pendidikan bernama Support for Education Sector Development in Aceh (Sedia) yang didanai Pemerintah Australia (AusAID). Dijelaskan Irwandi, makna atau arti dari pembangunan, di antaranya adalah memberikan yang terbaik kepada rakyat. Karena itu, kontraktor yang diberi amanah melaksanakan pekerjaan proyek fisik maupun nonfisik harus mengerjakan proyeknya dengan mutu yang baik, bukan asal jadi.
Untuk mengawasi kerja kontraktor, di samping telah disediakannya konsultan perencana dan pengawas serta Inspektorat, Pemerintah Aceh juga membentuk tim monitoring dan evaluasi (monev) pekerjaan fisik dan nonfisik APBA dan APBN yang sedang dan telah dikerjakan rekanan. “Monev ini sangat penting dilakukan, di samping untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pekerjaan fisik dan nonfisik proyek-proyek APBA dan APBN, juga daya serap anggaran dan kualitas proyek, baik proyek fisik maupun nonfisik yang dananya bersumber dari otsus, migas, reguler, dan APBN,” kata Irwandi. Tahun ini, kata Irwandi Yusuf, untuk dana otsus, Aceh akan menerima sekitar Rp 3,7 triliun dari Pemerintah Pusat atau naik Rp 200 miliar dibanding tahun sebelumnya Rp 3,5 triliun. “Pencairan dana otsus itu dari Depkeu berdasarkan daya serap anggaran dana otsus yang telah diterima sebelumnya,” lanjut Irwandi, menjelaskan.
Misalnya, kata Irwandi, pada tahap I Aceh telah menerima 40 persen. Maka untuk menerima tahap II sebesar 30 persen, harus bisa mempertanggungjawabkan penggunaan dana otsus tahap I. Kalau penerimaan tahap I belum terserap, maka usulan pencairan tahap II belum bisa dilakukan. “Untuk mengetahui sejauh mana proyek fisik dan nonfisik yang bersumber dari dana otsus, dana tambahan bagi hasil migas, dan reguler telah dikerjakan di kabupaten/kota, perlu di-monev,” ujarnya. Pemerintah Aceh telah membentuk tim monev yang diketuai Kepala Bappeda Aceh, Prof Dr Munirwansyah MSc beranggotakan dari Biro Pembangunan Setda Aceh serta dinas teknis lainnya.
Mengutip laporan lisan tim monev yang melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, serta pantai barat-selatan Aceh, Gubernur Aceh mengatakan masih banyak proyek fisik yang bersumber dari dana otsus, tambahan bagi hasil migas, dan reguler yang belum dikerjakan dan ada juga yang baru dilaksanakan dua minggu lalu.
Menurut tim monev, bakal banyak proyek fisik APBA 2009 yang tidak selesai 100 persen pada akhir 2009 nanti, sementara masa kerja tahun anggaran ini tinggal 45 hari lagi. Pada 13-15 Desember 2009 nanti, kontraktor bersama SKPA, KPA, dan PPTK proyek, sudah harus mengusulkan amprahan dana proyek otsus tahap akhir ke Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPPKA),” kata Irwandi.
Terkait dengan makin sedikitnya sisa waktu, maka untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah yang muncul akibat banyak proyek fisik APBA 2009 yang tak dapat diselesaikan pada akhir 2009 nanti, proyek yang sedang berjalan perlu di-monev. “Tujuannya untuk mengetahui berapa banyak proyek fisik yang bisa diselesaikan dan berapa yang tidak bisa sehingga dapat diputus kontrak dan diusulkan kembali anggarannya dalam penyusunan RAPBA 2010,” sebut Irwandi.
Tujuan lainnya, lanjut Gubernur Aceh, supaya masalah tahun lalu sebanyak 1.177 proyek fisik dan nonfisik yang telah dikerjakan kontraktor senilai Rp 850 miliar namun belum bisa dibayar SKPA, karena lambannya pengusulan amprahan pembayaran proyek tersebut pada akhir tahun 2008 lalu, tidak terulang lagi. “Proyek yang tidak selesai pada takhir tahun, dibayar sebesar realisasi fisik yang telah dikerjakan dan harus sesuai spek atau standar yang telah ditandatangani dalam kontrak,” tandas Irwandi.
12 tahun lagi
Mengenai program baru bidang pendidikan yang diberi nama Support for Education Sector Development in Aceh (Sedia), Pemerintah Aceh berterima kasih kepada Pemerintah Australia yang telah membantu peningkatan mutu pendidikan di daerah ini. Bantuan pendidikan senilai 7 juta dolar AS dari AusAID itu, diharapkan bisa meningkatkan mutu pendidikan Aceh.
Meningkatkan mutu pendidikan, kata Irwandi, tidak seperti menanam tauge, empat hari langsung bisa dipetik hasilnya. Program peningkatan mutu pendidikan yang telah dilaksanakan sejak dua tahun lalu, baru akan memberikan hasil 12 tahun kemudian. “Akibat konflik 30 tahun, banyak infrastruktur sekolah dan SDM yang hilang, sehingga untuk meningkatkannya butuh waktu yang lama,” kata Irwandi.
Terkait dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan masyarakat, Pemerintah Aceh telah melakukan kerjasama denga berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, juga dengan NGO dan AusAID, USAID, UNICEF, dan lembaga-lembaga lainnya. Tahun ini Aceh mengirim 109 orang sarjana untuk belajar di luar negeri. Kecuali itu, untuk mengembalikan anak korban konflik kembali bersekolah, sejak tahun lalu Pemerintah Aceh menyalurkan bantuan pendidikan untuk 80.000 orang anak yatim piatu korban konflik, anak telantar, dan fakir miskin. Tahun ini ditambah menjadi 100.000 orang.
Gubernur didampingi Plt Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar, juga menjelaskan, pihaknya juga telah menyalurkan bantuan operasional sekolah (BOS) APBA serta dana kesejahteraan guru Rp 2,2 juta/orang untuk 10 bulan yang nilainya mencapai Rp 151 miliar. SK pencairan dana BOS dan kesejahteraan guru telah ditandatangani Gubernur Aceh dan diharapkan pekan depan dananya sudah bisa diterima guru.
Moratorium logging
Menanggapi laporan Koordinator Program Nasional Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi, yang menilai penerapan jeda tebang atau moratorium logging di Aceh belum berjalan efektif, bahkan Aceh telah memecahkan rekor baru dalam hal pengrusakan hutan, menurut Irwandi malah sebaliknya.
Dijelaskan Irwandi, program moratorium logging yang dilaksanakan sejak dua tahun lalu, telah menghambat kerusakan hutan di Aceh seluas 500.000 hektare. Jika program moratorium itu tidak dilaksanakan, maka ada 5 HPH yang akan masuk ke Aceh meminta lahan penebangan seluas 500.000 hektare. “Karena di Aceh dilaksanakan moratorium logging, maka lima HPH itu tidak bisa masuk ke Aceh,” ungkapnya.
Irwandi mengakui, untuk mengawasi hutan dari perambahan, bukan pekerjaan gampang. Sebanyak 2.000 polisi hutan yang telah direkrut Dishutbun dalam dua tahun terakhir ini telah bekerja optimal untuk mencegah penebangan liar. Kerja Polhut belum bisa mencapai harapan masyarakat banyak, karena fasilitas yang disediakan untuk patroli hutan juga masih terbatas.
Contohnya, sebut Irwandi, tahun 2008, pihaknya ada mengusulkan pengadaan 23 unit mobil patroli kehutanan bersama GPS, tapi pihak legislatif belum menyetujuinya. Usulan itu akan disampaikan kembali pada 2010 dan diharapkan DPRA yang baru mau menyetujui. “Tujuannya supaya frekuensi patroli hutan bisa dimaksimalkan lagi, sehingga kerusakan hutan bisa lebih ditekan, tidak seperti yang dituding Greenomic,” demikian Irwandi.(her)
http://www.serambinews.com/news/gubernur-bongkar-proyek-tak-sesuai-spek
Post a Comment