2009-10-27
Permukiman di Daerah Resapan Air
[JAKARTA] Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta untuk menghentikan pembangunan kawasan permukiman baru di daerah resapan air seperti Cilincing dan Kelapa Gading. Kebijakan itu dimaksudkan untuk menjaga ekologi lingkungan yang sudah dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Hal itu ditegaskan pakar teknologi lingkungan Universitas Indonesia Firdaus Ali kepada SP di Jakarta, Senin (26/10). Menurutnya, pembangunan kawasan baru, seperti yang dilakukan PT Gading Orchad Summarecon di Kelurahan Sukapura Cilincing, Jakarta Utara, hanya akan menambah kerusakan lingkungan, baik bagi warga sekitar maupun bagian hilir.
"Seharusnya, Pemda DKI bisa mengantisipasi perubahan iklim dengan tidak lagi memberikan izin untuk mengembangkan kawasan permukiman di wilayah Jakarta Utara. Kawasan Kelapa Gading dan Cilincing cukup dekat dengan pantai utara Jakarta, sehingga perlu mendapat perhatian serius semua pihak," ujar Firdaus.
Pemberian izin baru kepada pengembang, lanjut Firdaus, merupakan suatu ironi karena selama ini kawasan Kelapa Gading dan sekitarnya selalu terendam banjir besar saat musim hujan tiba. Drainase yang buruk dan kurangnya ruang terbuka hijau di wilayah itu membuat tekanan banjir semakin tak terkendali tatkala hujan datang.
"Akhirnya, masyarakat yang menjadi korban akibat kebijakan itu. Apalagi ada pengurukan kawasan dengan ketinggian empat meter dibanding permukiman warga sekitar," tegas dia.
Selama ini, kata Firdaus, Pemda DKI Jakarta hanya bisa memberikan izin kepada pengembang tanpa mengawasi bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Pengawasan dimaksud seperti pembuatan pel banjir, ruang terbuka hijau, penampungan air dan lainnya.
"Sebenarnya yang menggenangi Jakarta saat hujan datang bukan air, tetapi manusianya sendiri. Pemda memberikan izin pembangunan suatu kawasan yang sebenarnya sudah tidak diperbolehkan. Manusia mempunyai hak untuk wilayah dan air juga sama halnya demikian. Kelapa Gading itu merupakan wilayah resapan air kenapa yang diekploitasi menjadi permukiman manusia," ujarnya.
Sengketa
Sementara itu, salah seorang pewaris tanah yang dikembangkan oleh PT GOS menjadi kawasan permukiman mewah, Djonny Sjafruddin mengatakan, lahan tersebut masih sengketa karena pengembang belum membayar ganti rugi tanah seluas sekitar 10 hektare. Lahan itu, kata Djonny, merupakan peninggalan orangtuanya H Ali Sjafruddin (almarhum) dengan sertifikat hak milik nomor 166,157,167,156/Pusaka Rakyat.
"Sekitar 10 hektar lahan itu belum diganti rugi oleh Summarecon kepada kami sebagai pewaris. Kami memiliki bukti-bukti yang sah atas kepemilikan tanah di kawasan itu. Putusan Mahkamah Agung Nomor 895 K/Pid/1982 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 77-XI-1991 juga disebutkan bahwa ada pembatalan sertifikat yang mengklaim tanah itu miliknya," ujar Djonny saat berbincang dengan SP di rumahnya di Jakarta Timur, Senin.
Dikemukakan, lahan tersebut kini dikuasai oleh PT Summarecon dan menyatu dengan lahan 44 hektare Kelurahan Suka Pura, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. PT Summarecon telah melakukan pengurukan di atas sebagian tanah yang diklaim keluarga Djonny sebagai miliknya. Pengurukan kawasan pemukiman elite itu sempat diprotes warga RW 09 Kelurahan Suka Pura karena dianggap akan menambah dampak banjir di wilayah itu saat musim hujan tiba.
"Saya juga telah melakukan pertemuan dengan pejabat BPN Provinsi DKI Jakarta pada awal Juli 2009. Pejabatnya mengatakan, lahan yang kini diuruk oleh PT Summarecon masih atas nama ayah saya dan belum pernah diperjualbelikan," paparnya.[H-14]
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=11398
Post a Comment