Rabu, 09 Desember 2009 | 07:59 WIB
TEMPO Interaktif, Dokter Budi, sebut saja begitu, adalah dokter ahli pencernaan anak lulusan dari salah satu perguruan tinggi di Eropa. Sepulang si dokter ke Indonesia, setelah menyelesaikan studinya, ia langsung diserbu pasien. Setidaknya ada 100 pasien yang mengantre setiap hari untuk dapat berkonsultasi dengannya.
Baguskah kondisi ini? Buat karier si dokter, mungkin ya. Tapi tidak untuk hak pribadi si dokter, yang juga perlu waktu istirahat.
Apalagi bagi hak pasien. Mari berhitung: dengan waktu sehari semalam hanya 24 jam, berapa waktu masing-masing pasien untuk mendapatkan haknya berkonsultasi?
Lalu, kapan pula ia sempat meng-upgrade pengetahuannya terhadap perkembangan terbaru kesehatan dan kedokteran.
"Masalahnya, jumlah dokter spesialis anak kita memang belum mencukupi kebutuhan dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Idealnya, satu dokter anak menangani 200 anak saja," kata Prof Dr dr Sudigdo Sastroasmoro, guru besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Belum lagi soal kompetensi keilmuan. Meski secara praktek dokter anak di Indonesia banyak yang berkualitas, mereka belum mendapatkan pengakuan, karena sedikitnya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh dokter Indonesia. Jikapun ada, "Peneliti Indonesia punya kendala ketika mempublikasikan hasil penelitiannya, baik di skala nasional maupun internasional," kata Sudigdo, yang ahli jantung anak.
Untuk itu, pada 1-3 Desember lalu, di Nusa Dua, Bali, diadakan Young Investigator Meeting, yang diprakarsai oleh lembaga nirlaba Nutricia Indonesia Fund (NIF). Dalam acara yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia ini, 33 proposal penelitian dari 14 rumah sakit pendidikan kedokteran--yang disaring dari 72 proposal penelitian--dibahas oleh para ahli. Termasuk ahli anak dari Belanda, Prof Hugo S.A. Heymans (Universitas Amsterdam) dan Prof J.B. Van Goudoever (Erasmus Medical Center Rotterdam). "Ada tiga topik favorit, yaitu obesitas, nutrisi, dan metabolisme anak. Meski ada yang meneliti masalah respiratologi dan molekul jantung," kata Sudigdo.
Jika penelitian-penelitian ini nantinya berhasil dilakukan, hasilnya diharapkan akan bisa menjadi acuan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan anak Indonesia. Tiap tahun, selain mengadakan forum keilmuan, lembaga ini mengirim beberapa dokter Indonesia untuk mengambil spesialisasi anak di Belanda.
Profesor Sofyan Ismael, pendiri dan anggota terhormat Board of Advisor NIF, mengatakan penelitian para dokter ahli anak ini akan jadi hal yang sangat penting. "Dunia medis kita dihadapkan pada tantangan kompetitif. Kini tiap dokter diharapkan melakukan prakteknya berdasarkan evidence base," kata Sofyan. Konsep evidence base sendiri mengacu pada pelayanan kesehatan yang berbasiskan pada hasil penelitian.
Sofyan mengingat, pada zaman ketika ia masih belajar di fakultas kedokteran, apa pun yang dikatakan dosen kedokteran ibarat kitab suci bagi mahasiswanya. "Tak ada sanggahan atau diskusi terhadap efektivitas penggunaan obat tertentu. Jadi, kalau dokter menghadapi pasien anak yang kejang demam, kalau dosennya dulu bilang harus diberi obat A, maka itu akan terus dilakukan," kata Sofyan.
Tapi hal demikian tak bisa terus dilakukan. Keterbukaan informasi membuat para pasien punya akses pengetahuan yang lebih beragam. Mau tak mau para dokter juga harus mengikuti perkembangan teknologi kedokteran terbaru. Sanggup melakukan penelitian sendiri dan mampu membaca hasil penelitian tentang efektivitas pengobatan tertentu. Ruang praktek dokter bukan lagi sekadar ruang konsultasi, tapi juga wadah diskusi antara pasien dan dokter. "Ujung-ujungnya demi hak pasien juga," kata Sofyan.
Bahkan di ruang kuliah kedokteran pun standar pengobatan berdasarkan evidence base dan penelitian jadi isu utama sejak, setidaknya, lima tahun terakhir. Pada akhirnya, para dokter tak hanya dituntut sebagai penyedia layanan kesehatan, tapi juga sekaligus sebagai peneliti masalah kesehatan.
Menjadi Pasien Pintar
- Menjadi bagian aktif dari tim kesehatan dalam pengambilan keputusan.
- Bertanya tentang apa yang jadi masalah dan keluhan Anda. Kalau perlu, bawa rekan atau kerabat untuk lebih memahami masalah kesehatan Anda.
- Memiliki catatan sendiri atas semua obat yang pernah dikonsumsi, termasuk alergi apa saja yang pernah Anda derita.
- Jika dokter menuliskan resep, pastikan Anda juga bisa membacanya. Jika Anda saja tak bisa membaca resep itu, ada kemungkinan apoteker pun tidak bisa membacanya.
- Mendapatkan informasi yang cukup tentang obat yang diberikan, seperti soal efek samping obat yang diresepkan.
- Saat menerima obat yang diresepkan, yakinkan bahwa itu memang obat yang diperuntukkan bagi Anda. Berdasarkan penelitian dari Massachusetts College of Pharmacy and Allied Health Sciences, ditemukan bahwa 88 persen kesalahan obat terjadi karena pihak apoteker salah menyerahkan obat atau dosis obat yang salah.
- Label obat tak selalu mudah untuk dibaca. Karena itu, jika ada pertanyaan atau keraguan, tanyakan langsung kepada ahli farmasi saat menerima obat.
- Mendapatkan semua hasil tes dan prosedur yang dijalankan. Tidak diberi tahu soal hasil tes yang dijalankan bukan berarti pasti pasien tak punya masalah atau kelainan.
- Jika membutuhkan pembedahan, Anda harus yakin sudah mendapatkan informasi tentang prosedur yang akan dijalani dan mengapa hal itu perlu untuk dilakukan.
UTAMI | dari berbagai sumber
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/12/09/brk,20091209-212642,id.html
Post a Comment