Rabu, 26 Mei 2010 12:54 WIB
Mamberamo (ANTARA News) - Bagi banyak masyarakat asli Papua, Kampung Noyadi, boleh jadi, merupakan nama yang tidak dikenal walaupun perkampungan itu ada di kawasan Mamberamo.
Hanya segelintir pilot berkebangsaan lain, yaitu mereka yang sering melayani penerbangan di Distrik Mamberamo Tengah Timur (MTT), Kabupaten Mamberamo Raya, Papua, yang bisa dengan pasti memberikan jawaban letak kampung tersebut.
Kampung Noyadi merupakan satu dari enam kampung di Distrik MTT, Kabupaten Mamberamo Raya.
Distik MTT dikenal sebagai daerah yang paling sulit dijangkau di kabupaten tersebut karena letaknya yang berada di tengah lebatnya hutan dan derasnya arus sungai Mamberamo.
Daerah itu dibentengi lereng perbukitan yang terjal dan kokoh. Di daerah seperti itulah Kampung Noyadi berada.
Noyadi hanya bisa dijangkau dengan pesawat berbadan kecil berpenumpang lima orang, dengan waktu tempuh kira-kira satu setengah jam perjalanan dari Bandara Sentani, Jayapura.
Wartawan ANTARA Jayapura yang mengikuti perjalanan tim Sensus Penduduk 2010 berkesempatan melihat kondisi kehidupan masyarakat di sana.
Masyarakat Noyadi, sama halnya dengan masyarakat lainnya yang ada di distrik MTT, hidup dengan berkebun dan bercocok tanam serta mencari sagu hutan sebagai makanan pokok.
Tingkat kesejahteraan mereka bisa dilihat dari kenyataan bahwa hampir seluruh anak-anak di kampung itu menderita gizi buruk.
Badan mereka kelihatan sangat kurus dengan perut yang membuncit. Kondisi itu masih ditambah dengan kulit mereka yang korengan.
Koreng di tubuh mereka itu, selintas, tampak seperti tato atau peta yang di sekujur tubuhnya.
Ketika malam hari tiba, perkampungan itu berubah seperti arena festival batuk, yang pesertanya didominasi anak-anak, yaitu mereka yang umumnya bergizi buruk dan korengan tersebut.
Suara batuk khas para penderita TBC itu terus bersahut-sahutan pada malam hari itu, seakan mereka tidak memberikan kesempatan pada tetangga mereka untuk batuk lebih hebat.
Para pendatang, termasuk para petugas sensus, pasti terganggu dengan suara batuk tersebut. Apalagi, rumah-rumah di kampung itu, yang berdinding dan lantai papan, saling berdekatan, sehingga suara batuk dari rumah sebelah seperti ada di rumah yang sama yang sedang ditempati.
Kepala Kampung Noyadi Kales Alle mengatakan, penyakit gizi buruk yang menimpa anak-anak di kampunng itu sudah berlangsung lama.
"Inilah kondisi kami di sini. Memang ada petugas yang turun memberikan pelayanan kesehatan dan membagikan obat, tetapi itu sangat jarang dilakukan. Dalam setahun saja belum tentu ada tenaga kesehatan yang datang ke sini," katanya.
Kales Alle menceritakan juga soal penyakit batuk yang diderita oleh anak-anak di kampungnya, yang menurutnya adalah sebuah wabah yang sangat berbahaya.
"Kasihan anak-anak kami, sudah banyak yang meninggal dunia karena penyakit yang mereka derita. Dalam satu bulan bisa satu atau dua orang anak yang meninggal," katanya.
Sekretaris kampung itu, Beni Aswa, yang memberikan keterangan bersama Kales Alle, menyatakan, para pengurus desa itu berharap adanya perhatian serius dari pemerintah daerah setempat mengenai kesehatan di sana.
Menurut dia, warga ingin ada pelayanan kesehatan yang lebih rutin demi keselamatan generasi penerus kampung.
Pengurus kampung itu mengakui hampir semua anak di distrik MTT, seperti Kustra, Obogoi, dan Biri, memiliki permasalahan gizi buruk.Tapi, kondisi terburuk ada di Noyadi.
Keadaan itu membuat para kepala kampung, yaitu Kales Alle selaku Kepala Kampung Noyadi, Tomas Seido Kepala Kampung Obogoi, dan Rudi Asua Kepala Kampung Biri, meminta wujud nyata keberpihakan pemerintah daerah setempat dan provinsi terhadap orang asli Papua tersebut.
"Katanya ada dana Otonomi Khusus yang jumlahnya puluhan triliun rupiah dan kebanyakan digunakan untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Tetapi kami yang di pedalaman ini kenapa masih menderita seperti ini?" kata Tomas Seido.
Kenyataan di perkampungan itu memang berbeda dengan kebijakan Gubernur Papua dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
Penyakit korengan, gizi buruk, dan batuk di perkampungan itu masih terjadi ketika Gubernur Papua menerapkan program pendidikan dan kesehatan gratis untuk orang asli di provinsi paling timur Indonesia itu.
Masyarakat setempat juga mempertanyakan kebijakan turun kampung Gubernur mereka yang belum kunjung ke daerah itu. Padahal, kebijakan itu dilakukan agar Gubernur bisa melihat secara langsung kondisi masyarakatnya dan memberikan bantuan kepada masyarakat di pelosok.
Kondisi itu ditambah kenyataan jarangnya Kepala Distrik MTT berada di kantornya, sehingga warga seperti tak memiliki tempat mengadu.
"Pak Distrik memang jarang ada di tempat tugas. Palingan hanya beberapa bulan sekali dan itupun cuma beberapa hari beliau ada di tempat tugas. Selebihnya selalu ke luar," kata Kales Alle.
Ketika ANTARA tiba di Kampung Kustra, ibu kota Distrik MTT, pernyataan itu terbukti.
Kantor distrik yang menjadi tempat pemerintahan kosong tak berisi, tak ada seorang pun pegawai distrik setempat berada di sana.
"Bapak Distrik tinggal di Kasso (sebutan untuk Kassonaweja, ibukota kabupaten Mamberamo Raya)," kata seorang warga Kampung Kustra.
Kasso merupakan sebutan bagi Kassonaweja, ibu kota Kabupaten Mamberamo Raya, yang bisa dicapai dalam tiga jam perjalanan mengikuti arus Mamberamo dengan "speed boat" bermesin 40 PK.(KR-MBK/S018)
http://www.antaranews.com/berita/1274853281/anak-anak-bergizi-buruk-kampung-noyadi-berfestival-batuk
Post a Comment